Memperhatikan Pantangan dalam Belajar dan Mengajarkan Ilmu

 
Memperhatikan Pantangan dalam Belajar dan Mengajarkan Ilmu
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID Jakarta - Mari kita berkaca kepada sahabat nabi yang bernama Abdullah bin Abbas r.a, sosok yang dijuluki Habrul Ummah wa Turjumanul Quran (ulamanya umat dan penafsir Al-Quran) dan juga dikenal sebagai Bahrul Ulum (lautan ilmu) pada masanya. Keistimewaan itu, tidak lain sebab beliau sangat bersemangat dalam mencari ilmu. Ketika menuntut ilmu, tiada sama sekali rasa malu (dalam arti negatif) dan sombong dalam dirinya. Demikianlah sehingga beliau memiliki kedudukan yang istimewa di mata para sahabat.

Mengenai sosok Abdullah bin Abbas itu, sahabat Abdullah bin Umar r.a pernah berkata, “Orang yang paling istimewa mengetahui Asbabun-Nuzul adalah Abdullah bin Abbas.” Demikian pula sosok Abdullah bin Abbas di mata Umar bin Khattab, beliau ditempatkan dalam deretan golongan sahabat terkemuka yang sangat alim.

Sahabat Abdullah bin Abbas tidak malu dan tidak sombong dalam menuntut ilmu. Malu dalam hal ini pengertiannya adalah enggan belajar karena ada sesuatu atau seseorang yang akan mengejek dan lain sebagainya. Tapi tidak dengan Abdullah bin Abbas, tetap terus belajar menuntut ilmu tanpa malu dan sama sekali tak ada kesombongan di dalam dirinya. 

Imam Mujahid bin Jabir, seorang murid Abdullah bin Abbas r.a, yang juga merupkan sosok ahli fiqih serta banyak meriwayatkan Hadis dengan derajat periwayatan tepercaya (tsiqah), pernah mengatakan mengatakan, bahwa jika seseorang ingin mendapatkan ilmu, maka harus menghilangkan dua sifat buruk, yakni malu dan sombong.

قَالَ مُجَاهِدٌ لَا يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلَا مُسْتَكْبِرٌ

“Imam Mujahid berkata, orang yang malu tidak akan (bisa) mendapatkan ilmu, demikian juga orang sombong.” (HR. Imam Bukhari, disebutkan secara mu’allaq dalam Bab Al-Haya’ fil 'Ilmi)

Menjauhi Sifat Malu (negatif) dalam Menuntut Ilmu

Sering kali seseorang dihalangi rasa malu untuk bertanya mengenai hukum agama, atau dalam hal menuntut ilmu. Orang yang malu dalam belajar, tentu akan susah mendapatkan ilmu. Jika selalu merasa malu, karena nanti dianggap sebagai orang bodoh, atau dianggap bisanya hanya bertanya soal remeh, atau malu duduk di majelis pengajian karena sudah tua, maka dalam hal ini tentu malu itu berarti negatif dan akan menghambat dirinya dalam mendapatkan ilmu. 

Oleh sebab itu, dalam belajar ilmu agama, jangan ada sifat malu, karena itu bukan pada tempatnya. Jangan malu belajar ketika sudah berumur, jangan malu jika sulit paham, jangan malu membahas tentang masalah haidh, mani, jima’, dan pembahasan-pembahasan lain yang mungkin sebelumnya dianggap tabu oleh sebagian orang. Harus disadari bahwa itu semua merupakan bagian dari agama kita, ada hukum-hukum syariat yang mesti kita pelajari. Sedangkan, kita juga tahu bahwa mempelajari agama itu hukumnya wajib. Karena itu, dalam menuntut ilmu, seseorang harus menjauhi sifat malu yang termasuk dalam arti negatif itu. 

Menjauhi Sifat Sombong dalam Menuntut Ilmu

Sombong adalah sifat buruk yang dapat menghalangi seseorang dalam menuntut ilmu, dan dapat mengantarkan pada jurang kebodohan yang tak ada habisnya.

Munculnya rasa sombong ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah berikut ini:

1. Sombong bisa menjangkiti orang yang merasa memiliki gelar akademis tinggi, sehingga meremehkan orang yang dianggapnya bodoh, karena tidak pernah menempuh pendidikan formal.

2. Sombong bisa menjangkiti orang yang merasa berada di dalam jamaah/afiliasi “yang paling benar”, sehingga sikapnya meremehkan dan memicingkan sebelah mata terhadap orang atau ulama di luar kelompoknya, padahal hati kecilnya mengakui ada banyak ilmu bermanfaat yang bisa digali dari orang yang diremehkannya.

3. Sombong bisa menjangkit orang yang sudah kadung di-"ustadz"-kan, di-"kyai"-kan, di-"syaikh"-kan, atau anggapan-anggapan lain yang mengesankan lebih superior dibanding yang lain. Akibatnya, jika semua itu terus melekat, maka akan merasa gengsi untuk belajar lagi. Apalagi duduk bersama orang lain di majelis tertentu, padahal terkadang hati kecilnya tahu bahwa dirinya masih bodoh dalam ilmu tertentu. Hanya saja, karena kebiasaannya adalah didengarkan ucapannya, bukan mendengarkan, maka gengsi ini membuatnya jadi terhalang dalam menambah ilmu.

4. Sombong bisa menjangkiti orang yang merasa lebih tua dan senior. Merasa lebih banyak makan asam garam kehidupan. Merasa lebih kenyang dengan pengalaman. Akibatnya, apapun yang dikatakan oleh orang yang dianggapnya masih “hijau” akan selalu diremehkan.

5. Sombong bisa menjangkiti orang populer. Dia merasa punya fans/liker/follower yang banyak sehingga merasa paling pintar dan paling berpengaruh. Akibatnya jika ada nasihat atau masukan dari ulama yang tidak populer, maka dia akan cenderung meremehkan dan memandang sebelah mata.

6. Sombong juga bisa menjangkiti orang biasa yang tidak mau berusaha dalam belajar, namun kemudian merasa tidak perlu melakukan hal itu karena menganggap tidak penting, dan lain sebagainya. 

Sombong bisa menjangkiti siapapun. Kita semua bisa terkena tiupannya. Oleh karena itu, marilah berlindung dari sifat malu yang tidak dibenarkan dan rasa sombong yang diharamkan itu.

Imam Hanafi pernah ditanya, apa sebenarnya rahasia beliau sehingga dapat memiliki ilmu yang demikian hebat, luas dan mendalam. Beliau menjawabnya dengan mengatakan, “Saya tidak merasa kikir untuk “ifadah” (berbagi ilmu) dan tidak pernah gengsi untuk “istifadah” (menimba ilmu).

Mengenai pernyataan Imam Hanafi tersebut, Imam Al-‘Aini mencatatnya di dalam Kitab Umdah Al-Qari fi Syarh Shahih Al-Bukhari sebagaimana berikut ini:

وَسُئِلَ أَبُو حَنِيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، بِمَا حَصَلْتَ الْعِلْمَ الْعَظِيْمَ؟ فَقَالَ، مَا بَخِلْتُ بِالْإِفَادَةِ وَلَا اسْتَنْكَفْتُ عَنِ الْاِسْتِفَادَةِ

“Abu Hanifah radhiyallahu ‘anhu ditanya, ‘Dengan cara apa engkau mendapatkan ilmu yang hebat?’ Beliau menjawab, ‘Saya tidak merasa kikir untuk ifadah (berbagi ilmu) dan tidak pernah gengsi untuk menimba ilmu (istifadah).”

Menjauhi Sifat Malu dan Sombong dalam Mengajarkan Ilmu

Barang siapa yang menyombongkan diri dalam mengajarkan ilmu kepada orang lain, maka dia tidak akan mendapatkan keberkahan ilmunya, bahkan ilmunya justru dapat menjadi fitnah baginya. Begitu juga jika rasa malu dalam menyampaikan ilmu kepada orang lain terus dipelihara, maka tidak akan ada keberkahan di dalamnya. 

Salah satu bentuk menyombongkan diri dalam mengajarkan ilmu adalah tidak mau mengajar orang-orang kecil atau mereka yang masih awam, dan hanya ingin mengajar orang-orang besar, yang terpandang, baik secara finansial maupun status sosial.

Termasuk juga bentuk kesombongan itu adalah tidak mau duduk mengajar, kecuali bila ada alasan yang membuatnya mengajar, seperti jika yang bermajelis hanya sedikit, dia enggan mengajar dan apabila banyak yang datang dia mau mengajar.

Penjabaran di atas dimaksudkan agar hendaknya seseorang itu selalu berupaya keras untuk tidak menyombongkan diri terhadap ilmu, baik ketika menuntutnya ataupun ketika mengajarkannya kepada orang lain.

Jadi, barang siapa yang sombong dan merasa dirinya hebat, sehingga menolak untuk belajar, tidak mau duduk di majelis-majelis ilmu dan enggan bersahabat dengan para pembelajar dan penuntut ilmu, maka sungguh Allah ‘Azza wa Jalla akan menjauhkannya dari keberkahan ilmu. Wallahu A'lam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 29 Juni 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ahmad Zaini Alawi (Khodim Jamaah Sarinyala Kabupaten Gresik)

Editor: Hakim