Menakar Pemahaman, "Akhlak Jauh Lebih Utama dari Ilmu"

 
Menakar Pemahaman,
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Bahasanya jelas dan mudah di pahami, cuman banyak orang terpeleset memahami pribahasa semacam ini, karena tidak paham sejauh mana takaran yang di maksud dari bahasa itu sendiri. Sehingga banyak yang memahami bahwa akhlak di atas segala-galanya, akhlak terlalu agung dari sekedar ilmu, ilmu tiada guna tanpa akhlak, karena iblis lebih berilmu dari manusia namun tak berakhlak.

Perlu kita pahami bahwa statement semacam itu tidak bisa kita jewantahkan bulat-bulat begitu saja, ada makna tersimpan disana yang menjadi tolok ukur keabsahan statement itu sendiri. Jangan terlalu tekstual dalam memahami suatu teks. Ingat, kesalahan pemahaman yang sering di ucapkan dan di dengar lama-lama akan di anggap menjadi benar.

Sejatinya terdapat dua kondisi dimana ilmu tetap segala-galanya, ilmu tetap jauh di atas akhlak, satu kondisi akhlak di atas ilmu. Namun banyak yang memahami akhlak tetap mutlak di atas ilmu. Begini, kondisi yang dimaksud adalah, ilmu yang fardhu 'ain seperti tata cara shalat, wudhu, puasa, zakat, halal-haram, jual beli, dan sejenisnya, itu wajib didahulukan dari belajar akhlak.

Nabi diutus sebagai penyempurna akhlak ketika syariatnya atau halal haramnya sudah benar. Artinya pelajari dulu ilmu fikih, halal haram, shalat, puasa dan seterusnya, baru setelah itu perbaiki akhlak. Bagaimana mungkin akhlak kita bernilai ibadah kalau Kita tidak tau ilmu syariat? Kita tidak tau halal haram? Yang ada itu hanya akan menjadi dosa bagi kita.

Misalnya, berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram dengan alasan akhlak, solidaritas dan sopan santun, atau misalnya ketika kita sedang tidak berpakaian tiba-tiba ada guru kita lewat, kita mau sowan niat ngamri barakah, lalu kita meghasab (menggunakan milik orang lain tanpa izin) pakaian teman kita dengan alasan agar sopan, yang seperti tetap salah, tetap dosa.

Mungkin iya terlihat adem dan bagus di mata manusia, tapi di mata Tuhan itu jelas sebuah kemaksiatan. Lebih baik bernilai ibadah di mata Tuhan daripada terlihat beradab di mata manusia. Kondisi kedua, barulah akhlak jauh lebih utama ketimbang ilmu yang tidak fardhu 'ain untuk di pelajari. Misalnya, belajar tafsir dan hadist sampai mendalam, fikih perbandingan madzhab, akidah lintas Agama dan sejenisnya.

Maka dalam kondisi kedua ini akhlak lebih utama untuk di pelajari, karena syariat kita sudah dipenuhi. Lebih baik kita belajar akhlak dulu untuk mengawal ketinggian ilmu kita nanti, agar tidak menyombongkan diri, mengucilkan dan merendahkan orang yang ilmunya dibawah kita. Bagaimanapun, pertama harus ilmu yang mengawal akhlak, barulah kemudian akhlak yang mengawal ilmu.

Namun yang lebih baik tentunya tetap menjalankan keduanya beriringan, artinya saat manusia memasuki usia baligh, terkhusus sebelum usia baligh, saat itulah pelajari ilmu syariat berikut ilmu akhlak. Cuman salah kalau di bahasakan akhlak jauh lebih penting dari ilmu dalam kondisi apapun. Semua para ulama itu terlebih dahulu belajar ilmu sebelum belajar akhlak. Karena beribadah pada Tuhannya jauh lebih penting dari sekedar bersopan-santun pada sesama makhluk-Nya.

Wallahu A'lam.

Repost: 30 April 2021

Oleh: Ahmad Mo’afi Jazuli


Editor: Daniel Simatupang