Bulan Suro, Momentum Penjiwaan atas Elegi Kemanusiaan

 
Bulan Suro, Momentum Penjiwaan atas Elegi Kemanusiaan
Sumber Gambar: istockphoto, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Biasanya semarak menyambut Bulan Muharram semakin meriah dengan berbagai kegiatan seperti pawai obor, membuat bubur suro, puasa sunnah dan santunan yatim. Ada kumpulan perasaan yang membaur menjadi satu makna saat memasuki Bulan Muharram (Bulan Suro), terutama ketika santunan untuk anak-anak yatim dan piatu. Seperti ada rasa sedih yang membuncah dari jiwa kemanusiaan. Pada titik itu rasa mencintai manusia dan kemanusiaan tumbuh secara sadar. Sejatinya Muharram adalah melapangkan arti kesholehan, arti kepedulian, arti pengorbanan dan kerelaan manusia secara eksistensial sebagai ciptaan Tuhan.

Sejarah peradaban manusia telah mengalami percepatan sedemikian rupa. Kita hidup di era di mana kemajuan di berbagai bidang tersosialisasikan dengan mudahnya. Percepatan dan segala kemajuan di berbagai bidang ini pun tentu sangat mempengaruhi pola interaksi antar manusia yang nampaknya lebih condong ke arah destruktif.

Ada satu pesan khusus yang dapat kita tangkap dari sebuah kemajuan, bahwasanya kita akan segera memasuki dunia yang serba ekstrem di masa depan, apabila manusia kehilangan respons terhadap rasa kemanusiaannya.

Tanda-tanda ini nampaknya mulai tumbuh dalam pola interaksi masyarakat. Sebut saja yang marak terjadi di dalam dunia maya yang tak terbendung, sebaran fitnah, hoax atau berita bohong berseliweran begitu saja dan bisa dilihat siapapun. Sedikit atau banyak tentu sebaran ini dapat mempengaruhi mental masyarakat. Dan entah secara sadar atau tidak, telah membuat masyarakat mengorbankan jati diri kemanusiaannya.

Makna Kesholehan

Dalam riwayat Abu Hurairoh r.a. Rasulullah SAW telah bersabda:

اِفْتَرَضَ عَلَى بَنِي اِسْرَائِيْلَ صَوْمُ يَوْمٍ فِي السَّنَةِ وَهُوَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ اَلْعَاشِرُ مِنَ الْمُحَرَّمِ فَصُوْمُوْهُ وَوَسَّعُوْا فِيْهِ عَلَى عِيَالِهِ وَمَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ مِنْ مَالِهِ فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ وَ مَنْ صَامَ هَذَا الْيَوْمَ كَانَ كَفَّارَةً اَرْبَعِيْنَ سَنَةً وَ مَا مِنْ اَحَدٍ اَحْيَا لَيْلَةَ عَاشُوْرَاءَ وَ اَصْبَحَ صَائِمًا مَاتَ وَلَمْ يَدْرِ بِالْمَوْتِ

“Telah diwajibkan atas Bani Israel puasa satu hari di dalam setahun dan itu adalah ‘Asyuro, hari kesepuluh dari Bulan Muharram. Mereka berpuasa dan menyantuni. Siapa yang menyantuni kerabat (terutama yatim) di hari kesepuluh, maka Allah akan luaskan hartanya setahun lamanya. dan siapa yang berpuasa di sepuluh hari dari bulan Muharram, maka Allah akan menggantinya dengan ganjaran puasa selama 40 tahun.”

Makna Kerelaan

Sikap peduli atas orang yang tertindas, terhadap yang terkena musibah, atau sakit, hingga kepeduliaan atas nasib anak-anak yatim, anak-anak terlantar, janda-janda jompo juga menjadi penanda bahwa Bulan Suro atau Bulan Muharram menjadi tonggak spiritualitas dan eksistensialitas manusia.

Sebagain ulama terdahulu menyebutkan keistimewaan bersedekah di Hari ‘Asyura.

قَالَ بَعْضُ السَّلَفِ وَمَنْ تَصَدَّقَ فِيْهِ يَوْمَئِذٍ اَدْرَكَ مَا فَاتَهُ مِنْ صَدَقَةِ السَّنَةِ

“Dan siapa yang bersedekah di hari ini ('Asyuro) maka kelak menemukan kesempatan (pahala) seprti bersedekah satu tahun.”

Makna Pengorbanan

Bulan Muharram tidak saja memberi ruang spiritualitas karena bulan tersebut menjadi tonggak terciptanya alam semesta, atau bahkan tonggak pengorbanan manusia atas kemuliaan dan perjuangan di jalan yang benar. Namun, Bulan Muharram juga menjadi titik refleksi dari elegi kemanusiaan, korban keserakahan manusia atas manusia lainnya, bahkan pengorbanan manusia dalam membela kebenaran meski harus menjadi martir atas sikap tersebut.

Dari sinilah, refleksi kemanusiaan sebagai seorang manusia seutuhnya dan sebagai seorang muslim yang sesungguhnya bisa diwujudkan. Karena itu, maka kesempatan untuk berbuat baik di bulan mulia ini akan dimaksimalkan. Berpuasa sunnah, bersedekah, menyantuni anak-anak yatim, memperbanyak dzikir dan doa demi kebaikan kita di dunia dan di akhirat. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 13 Agustus 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Hamdan Suhaemi  (Wakil Ketua PW GP Ansor Banten)

Editor: Hakim