Implementasi Makna Zuhud dalam Orientasi Masa Depan

 
Implementasi Makna Zuhud dalam Orientasi Masa Depan
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Ketika manusia dilanda penyakit cinta dunia, maka obat yang bisa mengatasinya adalah dengan berzuhud. Zuhud adalah "raghaba 'an syai'in wa tarakahu" menghindari sesuatu dan meninggalkannya. Apa yang ditinggalkan? Menurut Ibnu Abbas r.a. ada tiga perkara, yakni meninggalkan perhiasan (ترك الزينة), meninggalkan hawa nafsu (ترك الهوى), meninggalkan dunia (ترك الدنيا).

Menurut Al-Ghazali, zuhud ialah sebuah tindakan penolakan seseorang terhadap sesuatu yang digemari (dunia) demi mendapatkan sesuatu yang lebih berharga (akhirat). Dalam hal ini yang dimaksud penolakan adalah menolak untuk sampai pada level cinta dunia (hubbuddunya), dan bukan bersikap apriori, melainkan hanya menggunakan dunia beserta segala isinya dengan sewajarnya. Tidak berlebihan dan sama sekali tidak menjadi penghalang dirinya untuk mendekat kepada Allah SWT.

Berdasarkan pendapat Imam Al-Ghazali di atas, zuhud itu bukan mengabaikan duniawi secara materi, melainkan bagaimana hidup selalu berorientasi pada kepentingan bekal di akhirat. Orang kaya yang zuhud, tentu akan menggunakan hartanya di jalan Allah dan orang miskin yang zuhud akan tetap bersabar dan istiqomah di jalan ketaatan. Jadi zuhud itu bersifat futuristik, efektif dan efisien dalam menata kehidupan dunia untuk kebahagiaan akhirat.

Dalam psikologi, zuhud itu sama dengan orientasi masa depan, di mana seseorang harus memiliki tiga hal, yakni motivation, planning dan evaluation. Orang yang zuhud adalah orang yang berorientasi masa depan.

Allah SWT berfriman:

وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ ۗوَلَلدَّارُ الْاٰخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ يَتَّقُوْنَۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

Artinya, “Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu, sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?” (QS. Al-An'am: 32)

Dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَاِنَّمَا تُوَفَّوْنَ اُجُوْرَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَاُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَآ اِلَّا مَتَاعُ الْغُرُوْرِ

Artinya, “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada Hari Kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali Imran: 185).

Orang yang berjiwa zuhud akan memiliki motivasi ilahiah yang serba ikhlas karena Allah SWT dalam melaksanakan ibadah dan menjalani kehidupan ini. Ia juga akan memiliki rencana hidup yang jelas, matang dan senantiasa melakukan evaluasi (muhasabah) agar hidup progresif, produktif dan berkah berkelimpahan (Al-Harakah Barakah).

Dalam Kitab Nashaihul Ibad karya Syaikh Imam Nawawi Al-Bantani dijelaskan bahwa cara berzuhud itu sesuai dari asal kata zuhud itu sendiri, yakni zai, ha dan dal, yaitu; bertambah terus amal ibadahnya untuk perbekalan kematiannya (زَادُ الْمَعَادِ), menjadikan agama sebagai pedoman hidup (هُدًا لِلدِّيْنِ), dan konsisten atau istiqomah dalam ketaatan (دَوَامٌ عَلَى الطَّاعَة).

Semoga dengan berzuhud, kita akan meraih masa depan yang hakiki. Tetap merasa bahagia di dunia dan akhirat. Menjadikan dunia sebagai lahan persinggahan sejenak untuk menempuh kehidupan akhirat dengan selamat. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 31 Agustus 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

Penulis: Rakimin Al-Jawiy (Dosen Psikologi Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Editor: Hakim