Kisah Pertemuan Kiai Ibrahim Hosen dan Mbah Wahab Chasbullah

 
Kisah Pertemuan Kiai Ibrahim Hosen dan Mbah Wahab Chasbullah
Sumber Gambar: FB Sarung Mlorot

Laduni.ID, Jakarta – Suatu ketika, Prof KH Ibrahim Hosen, LML muda (ayah Gus Nadirsyah Hosen) datang menemui seorang kiai di Pondok Pesantren Buntet, Cirebon. Kiai Ibrahim muda yang berasal dari Sumatera Selatan itu disambut baik oleh Kiai Abdullah Abbas, pengasuh Pesantren Buntet yang disebut oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai penjaga langit tanah Jawa.

Dengan isyarat anggukan kepala, Kiai Ibrahim muda menghampiri Kiai Abbas dengan mantap yang menerima kedatangannya.

“Saya tidur dimana, Pak Kiai?” tanya Kiai Ibrahim muda.

“Ya di rumah ini, itu kamarmu,” kata Kiai Abbas sembari menunjuk salah satu kamar di kediaman beliau.

Kiai Ibrahim terkejut mendengarnya, sebab semua santri yang belajar di pesantren tersebut langsung diarahkan menuju pondok, berbeda halnya dengan dirinya yang diarahkan ke kediaman Kiai Abbas.

Dalam kesehariannya, Kiai Ibrahim mendapatkan ilmu khusus yang langsung diberikan oleh Kiai Abbas. Kiai Ibrahim juga seringkali diajak untuk menemani Kiai Abbas ke luar kota, suatu anugerah yang luar biasa dapat menemani dan mengabdikan diri kepada sang kiai.

Kiai Ibrahim mengenang masa-masa saat mendampingi Kiai Abbas dalam pertemuan ulama NU di Jawa Tengah. Tidak hanya mendampingi Kiai Abbas, Kiai Ibrahim juga turut mengikuti pembahasan yang sedang berlangsung di tengah-tengah pertemuan tingkat tinggi itu.

Dalam sebuah perjalanan pulan selepas acara, Kiai Abbas tak henti-hentinya mengagumi kehadiran KH Abdul Wahab Chasbullah, salah satu muassis NU yang terkenal akan kecerdasannya. Kiai Abbas memuji pemikiran Kiai Wahab yang disampaikan saat pertemuan.

Kiai Ibrahim penasaran dengan sosok Kiai Wahab yang dipuji-puji oleh sang guru, “Kiai Wahab itu yang mana kiai?” tanya Kiai Ibrahim.

“Yang semalam tidur berbagi bantal denganmu, beliaulah Kiai Wahab Chasbullah,” tutur Kiai Abbas sambal tersenyum.

Mendengar hal tersebut, Kiai Ibrahim terkejut, tak menyangka sosok sederhana yang berbagi bantal dengannya adalah seorang ulama hebat yang dipuji dan dikagumi oleh sang guru. Kiai Ibrahim mengingat momen itu, ketika yang satu meletakkan kepala di atas bantal menghadap ke utara, dan satunya menghadap ke selatan.

Di kemudian hari, Kiai Ibrahim mendirikan Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur’an (PTIQ) khusus pria pada tahun 1971 dan Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) khusus perempuan tahun 1979. Beliau menjabat sebagai rector, tidak hanya itu beliau juga mengabdikan dirinya memimpin Komisi Fatwa MUI selama 20 tahun (1980-2000).

Pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya (1971), Mbah Wahab kembali terpilih menjadi Rais Am. Kiai Bisri Syansuri enggan menjabat sebagai Rais Am selama Kiai Wahab masih hidup. Akhirnya dirumuskanlah nama pengurus, yang salah satunya meminta kesedian Kiai Ibrahim Hosen sebagai salah seorang Rais Syuriah PBNU.

Namun, selang beberapa hari kemudian Mbah Wahab meninggal dunia, maka naiklah Kiai Bisri Syansuri sebagai Rais Am dan dengan tawadhu Kiai Ibrahim mengundurkan diri dari kepengurusan Rais Syuriah serta lebih memilih mencurahkan waktunya sebagai Rektor PTIQ.

Disadur dari tulisan Gus Nadir


Editor: Daniel Simatupang