Biografi Ibrahim bin Adham

 
Biografi Ibrahim bin Adham
Sumber Gambar: foto istimewa

Daftar Isi

1          Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1       Lahir
1.2       Wafat 

2          Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.2       Guru-guru Beliau

3          Penerus Beliau
3.1       Murid-murid Beliau

4          Kepribadian
4.1       Meninggalkan Singgasana dan Hidup Zuhud

5         Kisah-kisah
5.1      Pertemuan dengan Anaknya
5.2      Pertemuan Ibrahim dengan Dua Nabi
5.3      Kurma di bawah Timbangan

6        Untaian Nasehat

7        Referensi

8.        Chart Silsilah Sanad

1      Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1       Lahir

Beliau adalah seorang Imam para ahli zuhud dan ahli ibadah , nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim bin adham bin Mansyur beliau berasal dari kota Kaurah daerah Balakh, beliau keturunan Raja.

Ibrahim Bin Adham lahir di Balkh di sebelah timur Khurasan, tanggal kelahirannya tidak didokumentasikan. Keluarganya berasal dari Kufah dan merupakan keturunan Khalifah kedua Umar bin Khattab.

Beliau adalah raja Balkh (Afghanistan) tetapi meninggalkan tahta untuk menjadi orang suci Sufi. Menurut sumber-sumber Arab dan Persia , Ibrahim Bin Adham menerima peringatan dari Tuhan dan turun tahta untuk mengambil kehidupan pertapa di Suriah. 

1.2       Wafat

Beliau wafat 161 H dimakamkan di daerah Shaur. Beberapa riwayat mengatakan bahwa Ibrahim bin Adham juga tercatat ikut serta dalam mempertahankan Benteng Thughur, yang terletak di utara Suriah dari serangan Byzantium. Selain itu, beliau juga tercatat ikut serta dalam dua ekspedisi militer, dan gugur pada ekspedisi militer kedua melawan Byzantium. Jenazahnya dikebumikan di wilayah kekuasaan Byzantium kala itu, dekat Benteng Sukin, atau Sufana.

Riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau wafat dan dikebumikan di Mesir. Selain di kedua tempat tersebut, ada juga riwayat yang mengatakan bahwa makamnya terletak di Baghdad, di Damaskus, di Yerusalem, dan di Djabala, sebuah wilayah di tepi pantai Suriah.

Kuat dugaan, banyaknya perbedaan pendapat tentang tempat pemakaman Ibrahim bin Adham juga dipengaruhi oleh luasnya legenda tentang Sang Sufi.

2        Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau

2.1       Guru-guru Beliau

Beliau menimba ilmu dari beberapa ulama di antaranya: 

  1.  Imam Baqir as,
  2. Muhammad bin Ziyad al-Jumahi
  3.  Abu Ishak
  4.  Malik bin Dinar
  5.  al-Aʻmasy

3       Penerus Beliau

3.1       Murid-murid Beliau

Sedangkan murid-murid Ibrahim bin Adham adalah:

  1. Syaqiq al-Balkhi 
  2. Imam Kazhim as

4        Kepribadian

4.1       Meninggalkan Singgasana dan Hidup Zuhud

 Ibrahim bin Adham melakukan pengembaraan, meditasi (perenungan) dan hidup zuhud. Para sejarawan sepakat, bahwa sejak melepaskan singasananya, Ibrahim hijrah ke Syam. Tempat tinggalnya tidak tetap, dan sering berpindah. Beliau menghindari mengemis atau memohon belas kasihan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Ibrahim bin Adham bekerja apa saja, mulai dari berkebun dan menjadi karyawan orang lain. Setelah meninggalkan singgasananya, Ibrahim bin Adham menjadi milik semua bangsa. Beliau berjalan ke mana saja, dan menjadi legenda di tengah-tengah masyarakat.

Sebagaimana layaknya para tokoh besar lainnya, ia menjelma menjadi bintang di segala kebudayaan, dan menjadi tautan mata masyarakat yang disinggahinya. Tak terkecuali, Ibrahim bin Adham bahkan menjadi bintang di dunia Sufistik. Namanya kerap muncul dan diceritakan oleh sufi-sufi besar setelahnya.

Dari sekian banyak kisah tentang perjalanan hidup Ibrahim bin Adham, kisah yang disampaikan oleh Faridu’ddin Attar, dalam “Manthiq Ath-Thayr” (Musyawarah Burung) dan “Tadzkiratul Auliya”, agaknya cukup perjalanan hidup Ibrahim bin Adham setelah melepas singgasana dan menjalani hidup zuhud. Bahasa yang lebih tepatnya, beliau “membeli kemiskinan” tersebut secara sengaja dengan semua apa yang dimilikinya.

5       Kisah-kisah

5.1      Pertemuan dengan Anaknya

Dikisahkan bahwa ketika Ibrahim bin Adham pergi ke Makkah untuk menjalani hidup dengan kesendirian bermaksud ingin mendekatkan diri kepada Allah SWT, beliau meninggalkan seorang putra yang masih menyusui.  Suatu ketika, putranya yang sudah tumbuh dewasa, menanyakan keberadaan sosok ayahnya kepada sang ibu. 

“Ayahmu telah hilang!” si ibu menjelaskan kepada putranya. 

Setelah mendapatkan penjelasan, ia bermaksud mencari ayahnya ke Makkah dengan mengumpulkan orang-orang yang hendak berangkat haji, dan menyeru bahwa ia siap memberikan biaya makan dan menyumbangkan unta untuk perjalanan ke Makkah. 

Singkat cerita, ia memimpin perjalanan bersama empat ribu rombongannya yang hendak pergi menunaikan ibadah haji. Dalam hati ia berharap agar ia dipertemukan dengan ayahnya pada saat di Makkah nanti. 

Sesampainya di Makkah, didekat pintu Masjidil Haram mereka bertemu dengan serombongan sufi yang mengenakan jubah dengan kain perca. 

“Apakah kalian mengenal Ibrahim bin Adham?” tanya putra Ibrahim bin Adham.

“Ibrahim bin Adham adalah sahabat kami, dia sedang mencari makanan untuk menjamu kami,” sahut mereka. 

Putra Ibrahim bin Adham kemudian meminta mereka agar bersedia mengantarkannya bertemu dengan Ibrahim bin Adham saat itu juga. Kemudian, mereka membawanya ke bagian kota Makkah yang dihuni oleh orang-orang miskin. Di sana ia melihat ayahnya sedang memikul kayu bakar dengan kaki yang tanpa menggunakan alas. Air matanya berlinang tapi ia masih sanggup mengendalikan dirinya. 

Putra Ibrahim bin Adham kemudian membuntuti ayahnya, sesampainya di pasar ia melihat ayahnya sedang menyeru, “Siapakah yang suka membeli barang yang halal dengan barang yang halal?”.

Seorang tukangroti menyahuti dan menerima kayu api tersebut dan memberikan roti kepada ayahnya. Roti itu kemudian dibawa ayahnya lalu disuguhkan kepada para sahabatnya. 

Putra Ibrahim kemudian berpikir, “Jika kukatakan kepadanya siapa aku, niscaya ia akan melarikan diri,” Oleh karena itu, ia pun pulang kembali untuk meminta nasihat dari sang ibu. Sang ibu menasehati agar ia bersabar menunggu waktu sampai tiba saat ibadah haji datang. 

Singkat cerita, tiba waktunya untuk menunaikan ibadah haji. Putra Ibrahim pun berangkat ke Makkah. Ibrahim bin Adham sedang duduk bersama para sahabatnya. 

“Hari ini di antara jamaah haji banyak terdapat perempuan dan anak-anak muda, maka jagalah mata kalian,” Ibrahim bin Adham menasehati para sahabatnya. 

Para jama’ah memasuki kota Makkah dan melakukan thawaf, Ibrahim bin Adham dan para sahabatnya melakukan hal yang sama. Seorang pemuda tampan datang menghampirinya dan Ibrahim bin Adham terkesima memandangnya. Hal demikian kemudian dilihat oleh para sahabatnya.

Para sahabatnya terheran melihat tingkahIbrahim bin Adham, padahal beliau baru saja menasehati para sahabatnya tetapi beliau sendiri yang berbuat hal demikian. 

Para sahabatnya kemudian menegur Ibrahim dengan memohonkan ampunan kepada Allah SWT, “Semoga Allah mengampunimu”.

“Jadi kalian telah menyaksikan perbuatanku?” tanya Ibrahim bin Adham kepada para sahabatnya. 

“Ya, kami telah menyaksikannya”.

Ibrahim bin Adham kemudian mulai bercerita kepada para sahabatnya sampai kenapa beliau bisa melakukan hal demikian. 

“Ketika pergi dari Balkh, Aku meninggalkan seorang anak yang masih menyusui. Dan aku yakin pemuda tadi adalah anakku sendiri,”

Kemudian keesokan harinya, tanpa sepengetahuan Ibrahim bin Adham, salah seorang sahabatnya mengunjungi perkemahan jama’ah dari Balkh. Di dalamnya berdiri sebuah mahligai dan di atasnya sedang duduk seorang pemuda yang sedang membaca Al-Qur’an sambil menangis. Sahabat Ibrahim bin Adham kemudian meminta izin untuk masuk. 

“Dari mana engkau datang?” tanyanya.

“Dari Balkh,” jawab putra Ibrahim. 

“Putra siapakah engkau?”.

Putra Ibrahim bin Adham menutup wajahnya lalu menangis, “Sampai kemarin aku belum pernah menatap wajah ayahku.” Katanya sambil memindahkan Al-Qur’an yang sedang dibacanya tadi.

“Walau demikian, aku belum merasa pasti apakah beliau ayahku atau bukan. Aku khawatir jika kukatakan kepadanya siapa aku sebenarnya, beliau akan menghindar kembali dari kami. Ayahku adalah Ibrahim bin Adham, raja dari Balkh,”

Sahabat Ibrahim bin Adham kemudian membawanya untuk bertemu dengan Ibrahim bin Adham. Ibunya turut menyertai mereka. Ibrahim bin Adham sedang duduk di depan pojok Yamani bersama para sahabatnya. 

Begitu melihat Ibrahim bin Adham, ibunya menjerit dan tidak bisa mengendalikan dirinya lagi. 

“Inilah ayahmu!”.

Para sahabatnya menitikan air mata atas apa yang telah terjadi di hadapan mereka. Tetapi putra Ibrahim bin Adham masih bisa mengendalikan diri, ia segera mengucap salam kepada ayahnya. Ibrahim bin Adham pun menjawab kemudian memeluknya. 

“Agama apakah yang engkau anut?” tanya Ibrahim bin Adham kepada putranya. 

“Islam”.

“Alhamdulillah, bisakah engkau membaca Al-Qur’an?”

“Ya,”

“Apakah engaku sudah mendalami agama ini?”

“Sudah”

Setelah itu Ibrahim bin Adham hendak pergi tetapi sang putra tidak mau melepaskannya. Ibunya meraung keras-keras. Ibrahim bin Adham menengadahkan kepalanya dan berseru:

“Ya Allah, selamatkanlah diriku ini”

Seketika itu juga putranya yang sedang dalam pelukan menemui ajalnya.

“Apakah yang terjadi Ibrahim?” para sahabatnya bertanya.

Wallahu a’lam bish shawab 

5.2       Pertemuan Ibrahim dengan Dua Nabi

Satu waktu, Ibrahim bin Adham bertemu dengan seorang lelaki yang merasa puas dengan apa yang beliau miliki. Padahal beliau hanya bisa makan roti dan minum sekedarnya. Apa yang dilakukan lelaki itu ternyata membuat Ibrahim bin Adham sadar bahwa selama ini telah terlalu menikmati dunia dan menuruti hawa nafsunya.

Beliau pun akhirnya memutuskan untuk berkelana menuju Allah (baca: menjauhi segala kemehawan dunia). Di tengah perjalanan, beliau bertemu dengan seorang yang sangat tampan, pakaiannya bagus, dan memiliki aroma yang wangi.

“Wahai seorang lelaki, akan kemana kamu?” tanya lelaki itu.

“Aku akan pergi dari dunia menuju akhirat,” jawab Ibrahim bin Adham.

Lelaki itu lantas bertanya kepada Ibrahim bin Adham, “apakah kamu sedang lapar?”

“Iya,” kata Ibrahim bin Adham.

Sejurus kemudian, lelaki itu langsung melaksanakan shalat dua rakaat. Dan, tak butuh waktu lama, secara tiba-tiba, muncullah makanan di sebelah kanannya dan minuman di sebelah kirinya. Beliau pun lantas mempersilakan Ibrahim bin Adham untuk menyantapnya. Ibrahim bin Adham makan dan minum sekadarnya, yang penting lapar dan dahaganya hilang.

Lelaki itu berkata, “Dengarkan, pikirkan, dan jangan terburu-buru, karena buru-buru itu dari setan. Jangan bersedih! Jangan pula kamu durhaka kepada Allah!”

Lelaki itu kemudian menjelaskan balasan dari Allah kepada orang yang durhaka kepadaNya, yakni Dia akan
(1) melimpahkan kegelapan dan kesesatan dalam hatinya
(2) menghalangi rizkinya 
(3) menghancurkannya di manapun ia berada.

“Jika Dia menghendaki kebaikan terhadap seseorang, maka Dia akan memberi cahaya dalam hatinya, sehingga ia bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Aku mengajarimu ilmu-ilmu agama dan nama Allah yang agung (ism al-a’dzam),” lelaki itu melanjutkan nasihatnya.

beliau menambahkan, jika Ibrahim lapar atau haus, maka beliau bisa membaca doa (ism al-a’dzam)  itu. Niscaya beliau akan kenyang dan hilang dahaganya. Lelaki itu juga menasihati Ibrahim bin Adham, yakni makanala beliau berada di antara orang-orang baik, maka hendaknya beliau menjadi “tanah”, dan biarlah mereka menginjak-injaknya. Hal ini karena ridla dan murka Allah terletak pada ridla dan murka mereka. (maksudnya, Ibrahim bin Adham hendaknya rendah hati dan selalu mendengarkan nasihat dan arahan orang-orang baik itu, pen.).

“Wahai lelaki, sekarang ambilah ini dan aku akan mengambil ini,” kata lelaki itu mempersilahkan Ibrahim bin Adham mengambil barang-barang pemberian darinya.

Ibrahim bin Adham pun khusyu’ mendengarkan nasihat lelaki itu. Lelaki itu lantas berdoa, “Ya Allah, tutuplah aku darinya dan tutuplah ia dariku”. Lelaki itu pun lantas pergi entah kemana.

Setelah itu, Ibrahim bin Adham bertemu lagi dengan lelaki yang berbeda, namun memiliki ciri-ciri yang sama dengan lelaki yang pertama: wajah tampan, baju bagus, dan aroma wangi. Lelaki itu bertanya kepada Ibrahim bin Adham, “Apakah kamu tadi bertemu dengan lelaki yang ciri-cirinya seperti ini dan itu?”.

Ibrahim bin Adham mengiyakan. Sontak, tanpa beliau duga lelaki yang berada di hadapannya itu tiba-tiba menangis. Ibrahim bin Adham pun kemudian bertanya kepada lelaki kedua itu tentang identitas lelaki pertama yang beliau temui tadi. Lelaki itu menjawab, “Dia saudaraku, Ilyas. Allah mengutusnya kepadamu untuk mengajarkan nama yang agung (ism al-a’dzam)”. (Mungkin yang dimaksud Nabi Ilyas as.)

“Lantas, siapa Anda?” tanya Ibrahim.

Lelaki itu menjawab, “Aku adalah Khidir.” (Nabi Khidir as., maksudnya)

Begitulah kisah pertamuan Ibrahim bin Adham dengan nabi Ilyas dan nabi Khidir yang penulis baca dan ringkas dari kitab Mir’ah al-Zaman fii Tawarikh al-A’yan karya Syamsuddin Abi al-Mudzaffar Yusuf bin Amir Hisanuddin Qizurghliy.

5.3       Kurma di bawah Timbangan

Selepas menunaikan ibadah haji, Ibrahim bin Adham ingin melanjutkan perjalanannya ke Masjid al-Aqsha. Ketika di sebuah perjalanan ke Yerussalem, beliau mampir ke pasar dekat Masjidil Haram untuk membeli kurma pada seorang pedagang tua untuk bekal di perjalanan.

Kurma yang selesai ditimbang lalu dimasukkan di keranjang Ibrahim bin Adham. Setelah dirasa semua kurma sudah masuk di keranjang, Ibrahim bin Adham melihat satu kurma tercecer persis di bawah timbangan. Beliau mengira satu biji itu bagian dari kurma yang beliau beli. Segera beliau pungut dan memakannya. Setelah melahap beliau berangkat menuju Masjid al Aqsha.

Selang empat bulan kemudian, Ibrahim bin Adham tiba di Masjid Al Aqsha. Beliau memilih ruangan di bawah Kubah Sakhra sebagai tempat favorit beribadah. Beliau salat, mendaras Alquran, bermunajat dengan khusyuk. Di sela-sela ketika beliau beribadah, telinganya menangkap suara dua malaikat bercakap tentang dirinya.

“Itu dia Ibrahim bin Adham, seorang ahli ibadah, zuhud, dan wara yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah Swt,” ujar satu malaikat.

“Tetapi sekarang tidak. Doanya tertolak. Sebab empat bulan yang lalu beliau memakan sebutir kurma di meja seorang pedagang tua yang bukan haknya,” jawab malaikat yang lain.

Mendengar bisikan itu, seketika Ibrahim terkejut dan terhenyak. Beliau teringat empat bulan yang lalu sebelum berangkat menuju Yerussalem, beliau mampir membeli sekilo kurma di pasar dekat Masjidil Haram.

Merasa ada yang janggal di hati dan pikirannya, beliau bangkit mengemasi barang-barangnya dan pergi kembali ke Mekah untuk mencari pedagang kurma dan meminta keikhlasan sebutir kurma.

Sesampainya di Mekah, di tempat pedagang tua berjualan dulu, yang ditemui bukanlah orang tua yang dulu berjualan, melainkan seorang pemuda belia. Ibrahim bin Adham yang sedang mengalami kemelut di hati itu pun bertanya.

“Empat bulan yang lalu saya membeli kurma di sini kepada seorang pedagang tua. Sekarang di mana dia?”

“Itu Bapak saya, Syeikh. Dia meninggal sebulan yang lalu,”kata pemuda tersebut.

“Innalillahi Wainna ilaihi rooji’uun, saya turut berduka cita atas kematian Bapakmu wahai pemuda. Kalau begitu kepada siapa saya bisa meminta penghalalan?”

Ibrahim bin Adham kemudian menceritakan detail peristiwa yang dialaminya. Sedang anak muda mendengarkan dengan seksama.

“Nah, begitulah. Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur kumakan tanpa izinnya?” kata Ibrahim bin Adham setelah bercerita.

“Bagi saya tidak masalah. Saya halalkan. Tapi saya masih memiliki saudara yang jumlahnya 11 orang yang mempunyai hak waris sama dengan saya,”ujar pemuda itu.

Ibrahim bin Adham yang berkeras mendapatkan rido atas sebutir kurma tersebut, meminta alamat masing-masing saudaranya.

“Di mana alamat-alamat saudaramu, biar saya temui mereka satu persatu?”kata Ibrahim bin Adham.

Setelah menerima alamat, Ibrahim bin Adham kemudian pergi menemui mereka. Masing-masing didatangi, mengetuk pintu, dan ditemui tepat di depan rumah. Setelah seluruh keluarga itu telah menghalalkan sebutir kurma, Ibrahim pun lega. Dirasa semua permasalahan telah terselesaikan, Ibrahim bin Adham kembali ke Masjid al Aqsha.

Beliau kembali menempuh empat bulan perjalanan ke Masjid Al-Aqsha. Sesampainya di sana, seperti biasa, beliau memilih Kubah Sakhra sebagai tempat beribadah. Beliau kembali bertakarub kepada Allah, dengan ritual salat, zikir, dan munajat.

Tidak menunggu lama, di sela-sela ia berdoa, tiba-tiba Ibrahim bin Adham mendengar dua malaikat yang dulu sedang berdebat.

“Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara makan sebutir kurma milik orang lain,” kata seorang malaikat.

“Oh tidak, sekarang doanya sudah kembali makbul. Beliau telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang beliau sudah bebas,”kata malaikat yang satunya lagi. [dsy]

6     Untaian Nasehat

Berikut ini adalah Untaian Nasehat Beliau:

  1. Barangsiapa yang ingin ketenangan hendaknya mengeluarkan seluruh keterkaitan dengan makhluk dari dalam hatinya.
  2. Jadikanlah Allah temanmu dan tinggalkan orang-orang
  3. Barangsiapa yang sadar apa yang ia cari niscaya kecil baginya pengorbanannya, barangsiapa yang tidak mengendalikan pandangannya akan lama penyeselannya,barangsiapa yang panjang angan-angannya pasti buruk amalannya, barangsiapa yang tidakmengendalikan lisannya berarti ia telah membunuh diri sendiri.

7      Referensi

"Riwayat Hidup Para Wali dan Shalihin" Penerbit: Cahaya Ilmu Publisher Dari “Tadzkiratul Auliya”, Fariduddin Aththar, Penerbit Zaman, 2018

8.    Chart Silsilah Sanad

Berikut ini chart silsilah sanad guru Ibrahim bin Adham dapat dilihat DI SINI.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 21 Oktober 2021, dan terakhir diedit tanggal 08 September 2022.

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya