Fakta Tentang Kemenag dan NU yang Berusaha Dihapus dari Sejarah

 
Fakta Tentang Kemenag dan NU yang Berusaha Dihapus dari Sejarah
Sumber Gambar: Ilustrasi/Aspek.id

Laduni.ID, Jakarta – Pada tahun 1996, Gus Dur menjadi pembicara bersama AS Hikam dalam sebuah acara pengkaderan calon Syuriah NU. Beberapa kali Gus Dur mengatakan bahwa sejarah itu ditulis oleh pemenang dan mereka yang berkuasa. Gus Dur lalu berbicara tentang para komandan Tentara (Daidancho) dalam perang revolusi kemerdekaan, yang 40 persen lebih merupakan para kiai.

Meskipun pasukan di bawah komando para kiai ini lebih cakap dalam pertempuran, mereka tersingkirkan dari kekuasaan setelah Indonesia merdeka. Tentara didikan Barat dengan ijazah dari sekolah model Barat yang kemudian berkuasa sampai Orde Baru berakhir.

Sebelum Agus Sunyoto menulis buku tentang Resolusi Jihad, sejarah versi penguasa tak pernah menyinggung sedikit pun tentang peran para kiai dan santri dalam peristiwa 10 November yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Sebelum buku ini diluncurkan, Agus Sunyoto mengajak para sejarawan, termasuk Ashvi Warman Adam dan tokoh-tokoh militer, untuk berdiskusi. Mereka semua mengakui bahwa yang ditulis oleh Agus Sunyoto itu benar dan sesuai dengan bukti-bukti dan catatan otentik.

Berikut pernyataan Asvi Warman sebagaimana dimuat oleh Republika pada 10 November 2017:

"Menurut saya pemerintah lamban dalam merevisi yang berkaitan dengan sejarah, banyak hal seperti resolusi jihad ini kenapa belum dimasukkan? Padahal itu benar terjadi, dan penting."

Buku tentang fatwa dan resolusi jihad ini kemudian diterbitkan dan diakui sebagai buku sejarah yang otentik. Bahkan pemerintah akhirnya menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri.

Menurut para sejarawan, masih banyak lagi sejarah tentang santri dan NU yang perlu untuk diungkap, karena peran para santri dan kiai sangat besar untuk bangsa ini. Misalnya tentang peristiwa Sukamanah di mana para kiai dan santri disiksa dan dieksekusi mati oleh Jepang. Peristiwa ini melatar-belakangi berdirinya “Kementerian” urusan agama.

Agus Sunyoto dalam sebuah tulisan bercerita tentang dialog antara Gus Dur dengan kaum elit yang selalu berkuasa di negeri ini. Mereka tertawa ketika Gus Dur mengeluh tentang sejarah yang menghilangkan NU. Bahkan salah satu di antara mereka berkata sambil tertawa, “Namanya orang ‘bodoh’ itu dari dulu ya jadi makanannya orang pintar Gus.” Selanjutnya mereka mengatakan bahwa kelompok yang ingin tertulis dalam sejarah, ya harus ikut menulis sejarah.

Masalahnya, orang NU disingkirkan dari kekuasaan begitu lama, sehingga tidak bisa ikut cawe-cawe dalam penulisan sejarah, khususnya ketika Orde Baru begitu berkuasa dalam segala lini kehidupan bernegara. Kalangan santri, “dibodohi” sekian lama.

Jika kemudian di kalangan NU ada sejarah versi para kiai yang berbeda dengan sejarah versi resmi yang selama ini ditulis, kita harus memahaminya. Suatu saat pasti akan ada revisi dan pelurusan sejarah, sebagaimana terjadi pada sejarah Resolusi Jihad yang melatarbelakangi peristiwa 10 November.

Ketika Orde Baru berkuasa, sejarah tentang G30S/PKI adalah sejarah versi historiografi Orde Baru yang digodok di dalam laboratorium milik tentara. Tentu saja sejarah versi ini harus menampilkan Soeharto sebagai pahlawan. Setelah Orde Baru jatuh, banyak sejarawan dan pakar yang berbicara tentang peristiwa tersebut dengan cara yang sangat berbeda.

Banyak fakta yang menyebutkan bahwa Abdul Latief dan Untung adalah orang-orang dekat Soeharto. Bahkan disebutkan bahwa Untung menghadap Soeharto dulu sebelum melakukan aksinya, sebagaimana diungkap oleh salah satu anggota pasukan Cakra Bhirawa yang masih hidup.

Mari kita renungkan fakta-fakta di atas itu ketika kita sekarang hendak membahas tentang sejarah berdirinya Kementerian Agama. Apa sejarah versi Orde Baru tentang Kementerian Agama itu sudah lengkap, atau masih perlu ada revisi?

Adapun dalam memahami sikap dan ungkapan Menteri Agama Yaqut, orang harus melihat secara keseluruhan. Pertama, dia berbicara kepada para santri. Dan santri yang hadir di acara tersebut adalah santri-santri NU. Acara itu memang bukan acara untuk umum. Dia ingin membangkitkan semangat kaum santri dengan memberikan motivasi.

Kedua, dia berbicara tentang sejarah versi para kiai. Di sini tersirat pesan bahwa NU selama ini disingkirkan dan dipinggirkan, padahal peran santri sangat dibutuhkan demi masa depan negeri ini. Dia juga sedang berbicara tentang Direktorat Jenderal Pesantren, yang sudah selayaknya dipegang kaum santri.

Ketiga, ungkapan Menteri Yaqut itu justru merupakan pernyataan sikapnya bahwa Kementerian Agama tidak boleh diklaim hanya menjadi milik umat Islam saja. Kementerian Agama, sebagaimana kementerian lain, adalah milik seluruh umat beragama. Singkatnya, dia hendak menyampaikan bahwa orang NU yang dihadiahi Kementerian Agama saja tidak melarang umat agama lain ikut memilki, kok orang lain membatasi Kementerian Agama hanya untuk umat Islam saja.

Apakah Menteri Yaqut hanya memberikan jabatan strategis untuk dipegang orang NU? Bukankah jabatan strategis Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh saat ini diberikan kepada ketua Lazis Muhammadiyah?

Oleh: Ali Mashar – Sekretaris PP MDS Rijalul Ansor


Editor: Daniel Simatupang