Feminisme, Perempuan, dan Kodratnya sebagai Ibu

 
Feminisme, Perempuan, dan Kodratnya sebagai Ibu
Sumber Gambar: Ilustrasi/Hipwee

Laduni.ID, Jakarta – Banyak orang yang mengecam feminisme yang katanya mendorong perempuan untuk berkarir, sehingga meninggalkan kodratnya sebagai ibu. Ujung-ujungnya menyebut perempuan berkarir demi tujuan materi, agar dapat hidup dengan gaya sosialita. Orang model beginian sepertinya tidak paham apa itu feminisme. Ia membangun pengertian sendiri tentang feminisme, dan memusuhi pengertian yang ia buat.

Feminisme memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan. Setara dengan laki-laki, artinya setara sebagai manusia. Ini yang paling fundamental. Di masa lalu, perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Itu anggapan yang dibuat oleh masyarakat, kemudian dianut juga oleh perempuan.

Setara itu menyangkut hal yang paling fundamental, kalau laki-laki diberi hak untuk makan sepiring nasi, maka perempuan juga punya hak atas sepiring nasi. Kalau laki-laki diberi pendidikan, maka perempuan juga berhak atas pendidikan. Zaman dulu perempuan tidak boleh sekolah, “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya tugas dia cuma di atas kasur, memasak di dapur, dan mencuci di sumur.”

Di masa lalu perempuan tidak punya hak politik, mereka tidak diberi hak pilih dalam pemilihan umum. Di Amerika hal itu diperjuangkan lebih dari setengah abad, baru pada tahun 1920 hak pilih diberikan kepada perempuan, melalui Amandemen ke 19. Di Saudi, perempuan baru boleh punya hak pilih di tahun 2011. Sementara, di Indonesia sejak Pemilu 1955, perempuan sudah diberi hak itu.

Feminisme bukan soal perempuan berkarir atau tidak, juga bukan soal meninggalkan peran sebagai ibu. Feminis tidak harus jadi pekerja kantoran, bahkan feminis tidak mengharuskan setiap perempuan bekerja. Juga tidak ada urusan dengan belanja, hidup hedonis, jadi sosialita, itu konyol. Perempuan yang tidak bekerja tapi hedonis, hidup sebagai sosialita malah jumlahnya banyak.

Berkarir dan meninggalkan kewajiban sebagai ibu adalah dua hal yang sama sekali berbeda, laki-laki harus bekerja dan ia tidak meninggalkan tugas sebagai ayah. Ini yang terus saya kampanyekan. Dalam pandangan tradisional, laki-laki tugasnya bekerja cari nafkah, lantas ia boleh lepas dari tanggung jawab mengasuh dan mendidik anak. Padahal tidak ada satu dalil atau dalih yang membolehkan laki-laki meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ayah.

Kalau laki-laki tidak boleh meninggalkan tanggung jawab sebagai ayah, tentu perempuan juga tidak boleh meninggalkan tanggung jawab sebagai ibu. Kalau ada yang meninggalkan, itu kesalahan, bukan itu yang diperjuangkan feminisme.

Apakah setiap perempuan adalah seorang ibu? Tidak, ada perempuan yang tidak menikah karena berbagai sebab. Ada perempuan yang menikah tapi tidak punya anak, maka menetapkan prinsip bahwa seorang perempuan adalah seorang ibu adalah kesalahan berpikir.

Apakah perempuan tidak perlu cari nafkah? Ada banyak perempuan yang harus pontang panting cari nafkah untuk membesarkan anak, karena suaminya mati. Ada pula yang harus begitu karena suaminya tidak bertanggung jawab. Perempuan bekerja tidak melulu soal perempuan yang ingin hidup mewah, dalam banyak kasus, perempuan bekerja agar bisa bertahan hidup.

Kaum anti feminisme ini sering konyol, mereka sering membuat batasan yang konyol soal definisi bekerja. Contohnya ada penceramah (perempuan), ia merasa dirinya tidak bekerja, dan mengecam perempuan yang bekerja. Dia sendiri tidak menyadari kalau dia sedang bekerja, bahkan kalau akhir tahun "Hijriah" tak jarang dia sampai dirumahnya Subuh, bahkan ketika matahari sudah perkiraan satu tombak.

Yang sering mereka serang adalah perempuan yang bekerja kantoran, alasannya ya tadi, karena meninggalkan tugas sebagai ibu, misalnya menelantarkan anak, sekali lagi itu kesalahan fatal. Bekerja dan penelantaran anak itu dua hal yang berbeda, orang bekerja tidak mutlak membuat ia menelantarkan anak. Sebaliknya, banyak perempuan tidak bekerja yang justru menelantarkan anak. Saya pernah baca berita kasus seorang anak mati terendam di kolam karena ibunya sedang asyik nonton TV.

Kaum anti feminisme sering membuat gambaran buruk yang mereka karang tentang feminisme, gambaran yang dibangun atas dasar ketidak tahuan mereka sendiri. Kemudian mereka memusuhi gambaran itu. Ibarat orang membuat patung jelek, lalu sibuk melempari patung itu sambil menyumpah.

Rabu, 17 November 2021

Salam,

Oleh: Gus Salman Akif Faylasuf, Santri Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo


Editor: Daniel Simatupang