Status Pelaku Zina: Perspektif Antar Aliran

 
Status Pelaku Zina: Perspektif Antar Aliran
Sumber Gambar: ilustrasi/Nordjyske.dk

Laduni.ID, Jakarta – Zina secara umum merupakan dosa besar yang di sebabkan oleh tindakan bersenggama antara lawan jenis (kaum adam dan kaum hawa), yang tidak terikat oleh pernikahan yang sah (pasangan halal) menurut syariat agama. Tanpa adanya unsur paksaan dan dilakaukan secara sadar, yang mana aktivitas tersebut dapat merusak kehormatan manusia.

Persoalan dalam zina menjadi wacana perbincangan teologi kalam yang ada, dengan konotasi yang lebih umum yaitu status pelaku zina. Dalam persoalan zina terdapat perbedaan pendapat dengan perspektif mutakallimin, yang mana perbedaan tersebut sesuai dengan setiap penafsiran terhadap sumber dalam ajaran Islam. Dari paradigma setiap sekte tersebut, membumbui terhadap pandangan masing-masing status perilaku zina.

Menurut paham golongan Khawarij pelaku zina dipandang salah satu dosa besar. Orang yang melakukan aktivitas zina dianggap menjadi kafir dan keluar dari agama Islam. Karena pelaku zina di anggap keluar dari agama Islam, maka pelaku ini akan menerima siksa kekal dalam Neraka bersama-sama dengan orang kafir. Pendapat ini berlaku pada semua sekte-sekte Khawarij, kecuali sekte An-Najdah.

Pemahaman sekte Al-Najdah dalam menafsirkan kafir tidak sepaham dengan sekte-sekte Khawarij yang lainya. Kafir dalam pelaku zina ini tempatnya di neraka akan tetapi tidak kekal didalamnya. Setelah melalui penyiksaan dalam neraka, mereka akan dikeluarkan dan akan ditempatkan kelak di surga. Jika mereka mengerjakan sesuatu yang haram dan tidak mengetahui bahwa hal tersebut haram, maka mereka dapat dimaafkan.

Sementara pelaku zina menurut golongan Murji’ah itu bertolak belakang pada prespektif Khawarij. Golongan Murji’ah berpendapat bahwa pelaku zina bukanlah kafir melainkah masih tetap mukmin. Akan tetapi pelaku zina ini tindakannya tetap berimplikasi di hukum dalam neraka. Dengan kemungkinan masih terbuka, Tuhan akan mengampuni dosanya sesuai dengan ukuran dosa yang pernah dibuatnya.

Golongan Mu’tazilah dalam ajang pemikiran teologi Islam juga berkaitan dengan status pelaku perzinaan. Golongan ini merumuskan pelaku perzinaan secara lebih konseptual ketimbang golongan Khawarij dan Murji’ah. Golongan Mu’tazilah menyebut pelaku zina adalah fasik. Hal ini membedakan status pelaku zina dengan apa yang disampaikan oleh golongan Khawarij yang mengkafirkan pelaku zina, dan Murji’ah yang tidak mengkafirkan pelaku zina (lebih cenderung memelihara keimanan) dan diserahkan kepada hari perhitungan.

Menurut golongan Mu’tazilah sebagaimana Al-Syahrastani jelaskan, golongan ini tidak menentukan status dan label yang pasti bagi pelaku perzinaan apakah tetap mukmin atau telah kafir. Golongan ini mengatakan status pelaku zina berada di posisi tengah-tengah antara mukmin dan kafir. Jika pelaku zina ini meninggal dunia dan belum bertobat maka ia akan kekal dalam neraka, meskipun siksaan yang ditimpanya lebih ringan di banding orang kafir.

Golongan Mu’tazilah sefrekuensi dengan Khawarij yang menganggap bahwa amal berperan dalam menentukan mukmin atau kafirnya seseorang. Meski demikian, mereka tetap berbeda dalam menetapkan status orang yang melakukan perzinaan. Khawarij menganggapnya kafir bagi orang berbuat zina, sedangkan Mu’tazilah menempatkan status pelaku zina tidaklah kafir dan tidaklah mukmin, jadi mereka tidak mendapat siksa berat di neraka dan juga tidak dapat dimasukkan ke surga. Tempat pelaku zina adalah di neraka yang siksaannya lebih ringan.

Bagi al-Asy’ari sebagaimana Harun Nasution (1986: 71) mengatakan bahwa orang yang berdosa besar seperti pelaku pezina itu tetap mukmin dengan keimananya masih ada dalam diri mereka, namun karena dosa besar pezina yang diperbuatnya menjadikannya fasik. Sekiranya tidak mungkin bahwa orang yang berdosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak di dapati kufur maupun iman.

Dalam maqalat menjelaskan balasan orang dosa besar seperti pezina diakhirat jika tidak bertobat akan disiksa dalam neraka, dan hal tersebut tergantung pada kebijakan Tuhan yang mutlak. Jika pelaku dosa besar mendapat syafaat maka akan bebas dari siksaan neraka. Jika tak dapat syafaat maka akan masuk neraka sesuai kadar ukuran dalam perbuatanya. Sesudah penyiksaan selesai maka akan di masukkan ke surga. Perlu diketahui pemahaman pelaku dosa besar al-Asy’ari juga berlaku pada golongan Maturidiah.

Oleh: Durriyatun Ni’mah, Mahasiswi Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Ampel Surabaya


Editor: Daniel Simatupang