Keberadaan Makam Ulama dan Arsitektur Masjid Kuno di Ponorogo dan Madiun

 
Keberadaan Makam Ulama dan Arsitektur Masjid Kuno di Ponorogo dan Madiun
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Di wilayah Ponorogo dan Madiun, keberadaan masjid berusia ratusan tahun tetap bertahan. Minimal dalam pola arsitektural di dalamnya yang menggunakan pilar berbahan kayu jati utuh dan skema spasial berwujud sokoguru dan sokorowo, mihrab dan mimbar kayu, serambi luas, beduk, dan ini yang penting, keberadaan makam kuno di belakang masjid.

Di kota ini, keberadaan masjid-masjis kuno yang berusia puluhan hingga ratusan tahun masih terlestarikan dengan baik. Yang paling terkenal adalah Masjid Tegalsari peninggalan KH. Muhammad Hasan Besari. Masjid ini terdapat di komplek makam keluarga "Besari", keluarga ulama yang berpengaruh di Jawa Timur era abad XVIII-VIX. Jika pembaca melihat arsitektur Masjid Demak, maka Masjid Tegalsari tidak jauh beda.

Di belakang Masjid Tegalsari ada banyak makam, yang paling sering dikunjungi adalah makam trah Besari: Kiai Ageng Mohammad Besari, Kiai Hasan Yahya dan Kiai Hasan Besari. Juga makam Kiai Nur Shodiq di kompleks yang berbeda.

Di Masjid Josari, Jetis, tak jauh beda. Di belakang masjid kuno ini – awalnya merupakan pondok pesantren – terdapat makam KH. Mahfudz, salah satu pendiri NU Ponorogo, yang disowani Panglima Besar Sudirman saat bergerilya dan dari Kiai Mahfudz pula, Jenderal Sudirman mendapatkan hadiah keris. Makam kuno lain bertebaran di belakang masjid ini.

Di belakang Masjid Agung Ponorogo, yang arsitektur Jawanya dipertahankan, terdapat Makam RMAA Tjokronegoro, Bupati Ponorogo (1856-1882), putra KH. Hasan Besari, Tegalsari, Jetis. Beliau kakek dari Haji Omar Said (HOS) Tjokroaminoto.

Di eranya, pembangunan Masjid Agung dimulai, sampai saat ini 16 tiang kayu jati utuh masih terawat dengan baik sejak didirikan pada 1858. Untuk menghormati jasanya, pemkab mengabadikan namanya sebagai nama masjid yang terletak di barat alun-alun ini.

Di belakang Masjid al-Ikhlas Karanggebang, Jetis, ada makam Kiai Mohammad Hasan dan Kiai Hasan Rifai, dua trah Besari, dan Kiai Mantri Haris Wrunodipuro, salah satu pejabat keislaman di bawah naungan Keraton Surakarta.

Di Madiun, keberadaan dan pengaruh masjid kuno Sewulan beberapa abad silam tak terbantahkan. Hingga saat ini walaupun pesantrennya sudah tidak ada, namun masjidnya tetap lestari sejak dibangun pada 1740 M. Usianya lebih dari tiga abad, namun corak bangunan khas Jawa tetap dipertahankan.

Atapnya terdiri dari tiga susun, disertai kolam air untuk cuci kaki, gapura yang kokoh hingga pohon sawo yang menjulang rindang. Arsitekturnya juga mirip dengan Masjid Tegalsari Ponorogo, peninggalan Kiai Ageng Muhammad Besari, guru Kiai Ageng Basyariah.

Kiai Ageng Basyariah alias RM. Bagus Harun inilah yang menjadi leluhur Gus Dur. Sebab, salah satu keturunan Kiai Basyariah, yaitu Nyai Nafiqah binti Kiai Ilyas dinikahi oleh Kiai Hasyim Asy'ari. Dari pernikahan ini lahir Kiai Wahid Hasyim, lalu Gus Dur. Di masa remaja dulu, Gus Dur kabarnya pernah tirakatan di masjid Sewulan peninggalan leluhurnya ini.

Saya hanya mengambil sampel beberapa masjid saja, masih banyak masjid dengan arsitektur khas Jawa yang tetap di pertahankan di kawasan ini. Silahkan melacaknya lagi.

***

Arsitektur masjid-masjid Nusantara memang khas, menggunakan kayu, memiliki pilar-pilar kayu besar di tengah, dan memiliki tiga struktur atap yang memiliki filosofi Islam, Iman, dan Ihsan.

Awalnya, tiga tingkatan atap ini merupakan salah satu strategi Islamisasi yang dilakukan Walisongo. Mereka dengan bijak tidak langsung membangun masjid menggunakan struktur dan corak Timur Tengah, melainkan disesuaikan dengan konsepsi "jalan keselamatan" masyarakat yang baru memeluk Islam. Tiga tingkatan atap adalah jalan keselamatan, yaitu Islam, Iman, dan Ihsan. Kita lihat, bahkan arsitektur pun menjadi media dakwah yang efektif dan membumi.

Hingga kemudian, pada babakan penyebaran Islam di era berikutnya di berbagai wilayah Nusantara, corak arsitektur semacam ini lazim dijumpai di setiap kawasan, di mana Islam masuk dan berkembang pada abad XVI-XXI. Arsitekturnya tetap, hanya saja bahan pembuatan masjid, lantai, tiang, dan atap masjid berbeda.

Adapula yang memberi sentuhan unik dengan mendirikan masjid di atas tiang pancang kayu sebagaimana dijumpai di Kalimantan dan Sulawesi. Keterlibatan kearifan lokal ini juga tampak dalam ritus pembangunan masjid, di mana para ulama di zamannya ditunjuk oleh sultan maupun penguasa daerah menjadi pimpinan proyek pembangunan masjid. Buku karya R. Ismunandar, Joglo: Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, menyiratkan hal ini.

Para ulama menjalani tirakat, mengontrol kualitas (quality control) bahan-bahan, hingga menentukan arah kiblat, sedangkan para tukang yang terlibat pantang melakukan Mo-Limo (berjudi, minum arak, berzina, mencuri dan membunuh). Tatkala masjid sudah selesai, ada yang membangun menara di samping masjid untuk muadzin ada pula yang meletakkan beduk sebagai alat penanda tiba waktu shalat.

Hingga kemudian, pada periodesasi perkembangan Islam dan pertumbuhan politik Islam di berbagai kawasan membuktikan, arsitektur masjid di berbagai kesultanan Nusantara juga memiliki arsitektur sama. Misalnya Masjid Kesultanan Demak, Masjid Kesultanan Tidore dan Ternate. Sedangkan masjid di berbagai alun-alun Jawa pada awalnya juga memiliki arsitektur yang sama. Fakta ini membuktikan jaringan Islam Nusantara yang kuat dengan adanya keseragaman arsitektur tempat ibadah dan filosofi di dalamnya, baik masjid maupun surau.

"Mulai Punah?"

Arsitektur bersusun tiga berbeda dengan masjid di Timur Tengah, juga berbeda dengan Masjid di kawasan Afrika Utara yang berusia ratusan tahun (sebagaimana masjid yang dibuat dari tanah liat di Mali, misalnya).

Keunikan bentuk dan nilai filosofis di dalamnya merupakan bagian dari kearifan lokal yang layak dipertahankan. Sangat disayangkan manakala melihat berbagai pembangunan dan renovasi masjid di daerah yang tidak lagi menggunakan desain unik dan khas ini.

Keberadaan masjid dengan ciri beratap tiga ini, hemat penulis, mulai "punah" akibat dominasi arsitektur modern yang berkiblat ke Turki dan Timur Tengah dengan ciri khas berkubah dan memiliki menara pendamping. Penggunaan bahan baku kayu untuk pembangunan masjid juga mulai jarang, berganti dengan dinding dari batu bata. Masjid modern juga ditandai dengan banyaknya ornamen modern lainnya seperti kaligrafi ayat suci dan hadis.

Keberadaan seni arsitektur khas ini mulai punah seiring dengan banyak renovasi masjid lama dan diganti desain terbaru bergaya India, Turki, bahkan dengan corak arsitektur postmodern. Masjid-masjid baru, yang tumbuh berkembang dari sisi kuantitas, lebih banyak menggunakan arsitektur modern (art-deco), minimalis (biasanya di perumahan dan perkantoran), dan desain mutakhir lainnya.

Berbeda dengan masyarakat postmodern yang gemar menampilkan lelaku agama secara ekstravagan dan disertai wujud simbol-simbol agama secara pseudomatik di wilayah publik, yang di antaranya ditandai dengan pembangunan masjid secara glamour, luks, tapi seolah miskin ruh spiritualitas.

Masyarakat zaman dulu seolah menghendaki tempat ibadah ini menjadi sesuatu yang sakral, benar-benar sebagai "rumah Tuhan", menawarkan keheningan yang ritmis, serta ketenangan dalam ritus zikir "menuju" Allah.

Di Ponorogo pula, saya melihat, masyarakat ogah meninggalkan arsitektur klasik yang khas ini karena kecintaan terhadap warisan leluhur. Kalaupun merenovasi, mereka mempertahankan bentuk dan bahan-bahan pembangunan masjid (jenis kayu dan lain sebagainya).

Wallahu A'lam Bisshawab

Oleh: Gus Rijal Mumazziq Z
Dikutip dari laman FB Gus Rijal Mumazziq Z pada 19 Januari 2022


Editor: Daniel Simatupang