Riya’ Itu Orang yang Terganggu Jiwanya

 
Riya’ Itu Orang yang Terganggu Jiwanya
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Riya’ (pamer) itu adalah sifat tercela (akhlak madzmumah) dan merusak kepribadian manusia. Dalam psikologi abnormal, riya’ termasuk gangguan kejiwaan dalam kategori Narcistic Personality Disorder yang ditandai dengan meningkatnya gejala-gejala narsisme seperti pencitraan (self imaging), pemameran (showingness) dan pengagungan diri (self grandiosity) yang bersumber dari adanya motif tersembunyi (ulterior motives).

Demi ingin mendapatkan pujian, sanjungan dan popularitas, seseorang sering berbuat riya’. Apakah riya’ dalam bentuk memamerkan keduniawian (profanity) maupun riya’ dalam bentuk memamerkan ukhrowi (religiosity). Riya’ duniawi bisa diperlihatkan dalam bentuk menunjukkan kekayaan, kehebatan, ataupun status jabatan, sedangkan riya’ ukhrowi bisa ditampakkan dalam bentuk ketaatan ibadah dan keshalihan diri agar mendapatkan pengakuan dari orang lain. Sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:

إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوٓا۟ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُوا۟ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya’ (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’: 142)

Riya’ inilah yang paling dikhawatirkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam menimpa ummatnya. Sebagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنَّ أخْوَفَ مَا أخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأصْغَرُ, قَالُوْا وَمَا الشِّرْكُ الْاَصْغَرُ يَارَسُوْلَ اللَّهِ؟ قَالَ الرِّيَاءُ. يَقُوْلُ ُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إذَا جَزَى النَّاسَ بِأعْمَالِهِمْ, يَقُوْلُ: إذْهَبُوْا إلَى الَّذِيْنَ تُرَاؤُنَ فِى الدُّنْيَا, فَانْظُرُوْا هَلْ تَجِدُوْنَ عِنْدَهُمْ جَزاءًا. (رواه أحمد)

“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan menimpa kalian ialah syirik ashghar.” Mereka bertanya, “Apa syirik ashghor itu?” Beliau menjawab, “Riya’”. Allah berfirman pada hari kiamat ketika memberikan pahala kepada manusia sesuai perbuatannya, “Pergilah kalian kepada orang-orang yang kamu pemerkan prilaku amalmu di dunia, maka nantikan apakah kamu menerima balasan dari mereka itu.” (HR. Imam Ahmad)

Menurut Fakhruddin ar-Razi (Wafat 1209 M), secara lughawi kata Riya’ berasal dari kata Ru’yat ataupun Ra’aa yang berarti melihat. Adapun secara istilah, ar-Razi mengartikan Riya’ sebagai suatu perilaku terpuji yang ditunjukkan oleh seseorang dengan maksud agar orang lain melihat dan percaya bahwa ia memang dihiasi oleh perilaku itu, meski pada kenyataanya ia tidak memiliki karakter tersebut pada waktu yang bersamaan. Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali, riya’ adalah:

اَلرِّيُاءُ طَلَبُ المَنْزِلَةِ فِى قُلُوْبِ النَّاسِ, بِأنْ يُرِيَهُم الخِصَالَ الْمَحْمُوْدَةَ والرَّائِ هُوَ الْعَامِلُ (الغزالي)

“Riya’ adalah mencari kedudukan pada hati manusia dengan memperlihatkan kepada mereka hal-hal kebaikan.” (Al-Ghazali)

Maksudnya beramal bukan karena Allah, melainkan karena manusia. Orang riya’ beramal bukan atas dasar ikhlas, melainkan agar mendapat sanjungan dan pujian dari orang lain. Karena itu orang riya’ rajin beramal, beribadah, dan bekerja apabila ada orang yang melihatnya dan mau memujinya. Apabila tidak ada yang melihatnya atau tidak ada orang yang memujinya, ia bersifat malas. Hal ini selaras dengan penjelasan Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA yang berbunyi:

لِلْمُرَائِي ثَلَاثُ عَلَامَاتٍ: يَكْسَـلُ إذَا كَانَ وَحْدَهُ، وَيَنْشَـطُ إذَا كَانَ فِي النَّاسِ، وَيَزِيدُ فِي الْعَمَلِ إذَا أُثْنِيَ عَلَيْهِ وَيَنْقُصُ إذَا ذُمَّ

“Orang riya’ (pamer) memiliki tiga ciri, malas ketika sendirian, rajin saat di tengah banyak orang, serta amalnya meningkat kala dipuji dan menurun kala dicaci.” (Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali)

Riya’ merupakan salah satu penyakit hati, yang pelakunya bisa dikategorikan telah melakukan syirik ashghar (syirik kecil). Penyakit riya’ ini sangat berbahaya dan bisa menimpa siapa saja, baik kalangan orang berilmu (alim), abid (ahli ibadah), aghniya’ (orang-orang kaya) maupun orang awam.

Orang yang riya’ akan merugi dan kecewa besok di akhirat, sebab yang selama ini ia menganggap dirinya sebagai orang yang alim, dermawan, ahli ibadah ternyata amal ibadahnya ditolak oleh Allah SWT. Lantaran apa yang ia lakukan selama hidup di dunia bukan karena mengharap ridha dari Allah SWT, tetapi karena ingin dipuji oleh manusia.

Ar-Razi menjelaskan, ada tiga aspek yang membentuk perwujudan dari sikap riya’ tersebut, yakni:

1. Al-mura’i atau kemencolokan (vulgarity), di mana seseorang melakukan perbuatan Riya’ dengan niat menyumbang sesuatu yang bermakna ganda bagi orang yang melihatnya.

2. Al-mura’ilahum, dimana seseorang melakukannya justru dengan niat mempertegas persepsi.

3. Al-mura’ibihi atau kepameran (showingness), seseorang dengan sengaja mempertontonkan sikap pamer agar menghasilkan suatu makna efektif dalam pandangan orang lain.

Dalam Kitab al-Arba’in halaman 100-101 Imam al-Ghazali (wafat 505 H/1111 M) menjelaskan ada enam tempat yang sangat berpotensi menumbuhkan riya’. Pertama, dalam bentuk badan dan raut muka. Kedua dalam penampilan. Ketiga, dalam style pakaian. Keempat, dengan ucapan. Kelima, riya’ dalam perbuatan. Keenam, riya’ juga bisa tumbuh karena banyaknya murid, teman, dan guru yang bisa dipamerkan.

Memahami penjelasan al-Ghazali tentang enam tempat riya’, seolah untuk beramal shaleh orang menjadi sangat pelik dan rumit. Beramal lillahi ta’ala, murni karena Allah semata memang tidak mudah. Bukan karena Allah mempersulit akses menuju ke sana, tetapi karena hati manusia terbujuk rayu kekuatan syaithaniyah, egoisme, dan cinta dunia, sehingga ia sulit menemukan kemurnian ibadah yang sebenarnya.

Sebagai hamba Allah, tentu orang tak boleh berkecil hati. Orang harus terus berupaya sedikit demi sedikit membenahi hati dengan cara apa pun. Seperti banyak membaca, mengaji kepada para ustaz, kiai, atau tuan guru yang dapat meningkatkan kualitas spiritualnya.

Kuncinya, adalah tidak sampai berhenti karena terjangkit riya’ saat beramal pertama, kedua, atau bahkan ketiga kalinya. Namun amal ibadah tetap harus terus dilanjutkan sampai hati menjadi stabil dan tidak butuh dilihat lagi oleh manusia lainnya. Sedangkan menyangkut tingkatan-tingkatan orang riya’, terdapat tiga tingkatan mengenai hal itu:

1. Tingkat pertama adalah orang-orang yang menikmati penghormatan dari manusia lain melalui kepercayaan mereka yang baik kepadanya. Orang-orang dalam tingkatan ini menggunakan penghormatan tersebut guna membangun status sosial di tengah masyarakat.

2. Tingkatan kedua adalah orang-orang yang selalu tidak puas dengan apa yang ada di mereka sendiri dan terus menginginkan orang-orang lain berbicara tentang sifat-sifatnya dan menaburinya dengan pujian atas perilakunya yang baik dan menyebar luaskan popularitasnya.

3. Tingkatan ketiga adalah orang-orang yang berperilaku riya’ ini menggunakan popularitasnya guna memperoleh sarana-sarana yang terlarang, dengan cara mengumpulkan benda-benda wakaf, mengotori hak anak-anak yatim atau sumbangan bagi kaum fakir yang menderita. Menurut ar-Razi, inilah tingkatan terburuk dari orang-orang yang berperilaku riya’

Terkait dengan tingkatan kedua, problem narsisme telah muncul dalam bentuk pengagungan dan kecintaan akan diri sendiri (self grandiosity dan self admiring) yang merupakan bentuk khas dari gejala kepribadian abnormal.

Menghindar dari jebakan riya’ atau pamer amal ibadah bukanlah hal yang mudah dilakukan. Orang yang melawan jebakan riya’ sejatinya sedang berperang melawan dorongan dari dalam diri sendiri. Satu energi besar yang bercampur baur, sukar dipisahkan antara positif dan negatifnya. Persis seperti orang yang sedang menjalani misi besar yang harus melewati hutan penuh ranjau.

Satu sisi, ia dituntut untuk terus berjalan, tak boleh berhenti apalagi kembali. Di sisi lain, ia seolah didorong mundur oleh sekian banyak ranjau yang tersembunyi. Demikian halnya ibadah, jebakan riya’ sangat banyak. Belum lagi perangkap kesombongan, gila popularitas (sum’ah), cari perhatian (tamalluq), dan semisalnya.

Tetapi, hal itu bukan alasan untuk menghentikan ibadah. Ibadah harus tetap dijalankan perlahan seraya membenahinya secara bertahap. Nah, untuk pembenahan ini, perlu kiranya mengenal dari mana saja potensi riya’ dapat muncul. Bukankah mustahil berhasil membersihkan diri dari sesuatu yang tak dikenal akar-pangkalnya? Imam al-Ghazali dalam Kitab al-Arba’in fi Ushul ad-Din, halaman 102 berkata:

 فمن لا يعرف الشر ومواقعه لا يمكنه أن يتقيه

“Buta dari mengenal seluk-beluk ranjau amal membuat kita mustahil dapat menghindarinya.” 

Sementara menurut Izzuddin bin Abdus Salam dalam kitabnya Maqashidur Ri‘ayah li Huquqillah, memberikan solusi, ketika riya’ menghantui orang yang mau atau sedang beribadah, ada tiga tindakan yang perlu dilakukan supaya amalannya tetap bernilai di mata Allah SWT.

لخطرة الرياء ثلاثة أحوال إحداهن أن يخطر قبل الشروع في العمل لاينوي بعمله إلا الرياء فعليه أن يترك العمل إلى أن يستحضر الإخلاص، الثانية أن يخطر رياء الشرك فيترك ولايقدم على العمل حتى يمحض الإخلاص، الثالثة أن يخطر في أثناء العمل الخالص فليدفعها ويستمر في العمل فإن دامت الخطرة ولم يجب نفسه إلى الرياء صح عمله استصحابا لنيته الأولى

“Terdapat tiga bentuk riya’, pertama, orang yang terbesit riya’ sebelum mengerjakan amalan dan dia mengerjakan amalan tersebut hanya semata karena riya’. Agar selamat, orang semacam ini harus menunda amalannya sampai timbul rasa ikhlas. Kedua, orang yang timbul di dalam hatinya riya’ syirik (mengerjakan ibadah karena ingin mengharap pujian manusia serta ridha Allah SWT). Orang seperti ini juga dianjurkan menunda amalan hingga benar-benar ikhlas. Ketiga, riya’ yang muncul di saat melakukan aktivitas/amalan. Orang yang dihadang riya’ di tengah jalan seperti ini, dianjurkan untuk menghalau gangguan itu sambil meneruskan amalannya. Kalau godaaan riya’ terus hadir, ia tidak perlu menggubrisnya. Insya Allah amalannya diterima karena tetap berpijak pada niatnya semula.”

Untuk itu, jauhilah sifat riya’ dan menjadi manusia yang berkepribadian mulia. Manusia yang memiliki kedudukan istimewa disisi Allah yang selalu menutupi kebaikannya dengan penuh keikhlasan dan mengharap ridho-Nya. Semoga bermanfaat.

Oleh: Rakimin Al-Jawiy, S.Pd.i., M.Si., Dosen Psikologi Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Editor: Daniel Simatupang