Fase-Fase Orang Menjadi Takfiri

 
Fase-Fase Orang Menjadi Takfiri
Sumber Gambar: Ilustrasi/Laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta – Al-Imam Ibnu Hibban dalam Shahihnya menyebutkan sebuah hadis yang menerangkan tentang metamorfosis pemikiran golongan takfiri. Hadis ini diriwayatkan dengan sanad yang hasan melalui jalur Hudzaifah bin Al-Yaman, bahwasanya Rasulullah bersabda:

إن مما أتخوف عليكم رجل قرأ القرأن حتى إذا رئيت بهجته و كان ردءا للإسلام غيره الى ما شاء الله، انسلخ منه و نبذه وراء ظهره و خرج على جاره بالسيف و رماه بالشرك. قال: قلت: يا رسول الله، أيهما أولى بالشرك، المرمي أو الرامي؟ قال: لا، بل الرامي.

“Diantara hal yang sangat aku takutkan pada kalian adalah seseorang yang rajin membaca Al-Quran hingga terlihat sangat indah dari luarnya, dan ia sangat semangat membantu agama Islam. Kemudian ia merubah arah maknanya, melepas diri dari Al-Quran, dan melempar apa yang ia telah baca kebelakang punggungnya. Hingga ia keluar ke rumah tetangganya dengan menghunuskan pedang dan menuduhnya melakukan perbuatan syirik. Hudzaifah bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapa yang lebih berhak mendapatkan stempel syirik, orang yang menuduh atau yang tertuduh?’, Rasulullah menjawab, ‘Orang yang menuduh lebih berhak mendapatkan stempel syirik.’”

Syekh Muhammad Ahmad Sa'id Al-Azhari dalam kitabnya Al-Fahmu Al-Mustatir li Ahadis Yahtajju Biha Ahlu Al-Unfi wa Al-Takfir menyebutkan bahwa dalam hadis ini menggambarkan tiga fase yang dilewati orang takfiri, pertama membangun hubungan dengan Al-Quran (al-ittishal), kedua memindahkan haluan makna dari Al-Quran (al-intiqal), dan terakhir melepas diri dari itu semua (al-infishal).

Fase pertama:

إذا رئيت بهجته و كان ردءا للإسلام.

“Hingga terlihat sangat indah dari luarnya, dan ia sangat semangat membantu agama Islam.”

Potongan hadis ini gambaran dari fase pertama. Dalam tingkatan pertama ini orang tersebut akan membangun citra yang baik dengan Al-Quran. Menghafal, membaca, memperindah nada, hingga terlihat bahwa ia memang seorang yang Qurani. Masyarakat pun mulai melirik sekaligus tertipu dengan gaya orang tersebut. Mereka membaca Al-Quran tapi hatinya tidak pernah tersentuh dengan cahaya Al-Quran.

Tidak hanya Al-Quran, bahkan ibadah yang lain juga mereka tekuni dengan semangat. Rasulullah menggambarkan, bahwa jika dibandingkan dengan mereka, mungkin kamu akan menganggap ibadah yang kamu lakukan sangat sedikit.

Setelah busuknya niat mereka sudah tertutupi dengan tampilan yang baik, bahaya yang nampak hanya masyarakat yang mulai terambil hatinya oleh mereka. Jangan heran. Al-Quran memang memberikan mereka aura yang terlihat baik meski niatnya buruk. Baca saja hadis yang menjelaskan gambaran orang yang munafiq membaca Al-Qur'an, Rasulullah menyamakannya dengan Raihanah, buah yang wanginya harum namun pahit rasanya. Pada hadis ini juga memberikan gambaran lebih kepada hadis sebelumnya, bahwa meskipun orang yang membaca Al-Quran berniat buruk, tetap ada efek baik yang didapatkan.

Fase kedua:

غيره الى ما شاء الله، انسلخ منه و نبذه وراء ظهره

“Kemudian ia merubah arah maknanya, melepas diri dari Al-Quran, dan melempar apa yang ia telah baca kebelakang punggungnya.”

Tingkatan kedua, orang tersebut mulai berani melewati koridor batas. Ia merubah dan melencengkan makna yang seharusnya ke makna yang sesuai dengan keinginan mereka. Di tingkat pertama mereka hanya menyentuh stuktur (al-mabna) dari Al-Quran, hanya sebatas menghafal dan membaca. Kini ia masuk ke pemahaman ayat (al-ma'na) yang dilencengkan.

Pemahaman yang mengandalkan hawa nafsu berakibat penafsiran yang tidak sesuai dengan apa yang Allah inginkan. Pemahaman para ulama mereka tolak mentah-mentah tanpa ada alasan yang jelas. Dengan ini, mereka menerobos kesepakatan umat, dan mulai terlihat pada diri mereka tanda-tanda kegelapan dan kesesatan.

Kata Syekh Muhammad Ahmad Sa'id, gaya berfikir orang seperti ini ibarat orang yang membaca tentang larangan orang mabuk untuk mendekati shalat, namun hanya sebatas dibaca “janganlah kamu mendekati shalat...” Namun potongan berikutnya tidak dibaca, yaitu “jangan kamu mendekati shalat sedangkan kamu masih dalam keadaan mabuk.” Sehingga pemahaman yang dilahirkan, janganlah mendekati shalat(?).

Gaya berfikir yang nyeleneh ini juga terlihat pada Abu Nuwas, salah seorang penyair yang hidup pada masa Dinasti Abbasiyah. Saat Abu Nuwas membaca Ayat: “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat.” (QS. Al-Maun 4), ia pun melantunkan dua bait syiir:

دع المساجد للعباد تعمرها # و طف بنا حول خمار ليسقينا

ما قال ربك ويل للألى سكروا # بل قال ربك ويل للمصلينا

“Tinggalkan nama masjid untuk orang yang hobi ibadah agar mereka makmurkan masjid itu, dan kemari bersama kami, kita kelilingi para penuang khamr itu agar mereka menuangkan khamr. Tuhan tidak pernah mengatakan celaka bagi orang yang masuk, tapi Tuhanmu mengatakan: ‘Celakalah bagi orang-orang yang shalat.’”

Abu Nuwas sendiri selain dikenal dengan kata-kata mutiaranya yang bijak dan penuh dengan rasa penyesalan dan kezuhudan, nyatanya itu muncul setelah melewati masa kelamnya saat muda. Abu Nuwas ini diceritakan adalah korban broken home hingga ia pun masuk ke hidup yang penuh dengan glamour, atau yang dikenal dalam literasi Arab dengan sebutan gaya hidup Al-Majun. Oleh karenanya, syiir-syiir Abu Nuwas banyak yang bertema Khamriyyah, tema yang menggambarkan kehidupan yang penuh dengan khamr.

Kembali ke tukang mengkafirkan, gaya nyeleneh dalam memahami ayat di atas adalah gaya orang yang suka mengkafirkan. Hanya mengandalkan satu ayat yang sesuai dengan hawa nafsunya, tanpa menimbang-nimbang dalil yang lain, lalu lahir sebuah hukum yang sebetulnya juga bertabrakan dengan dalil-dalil yang lain.

Fase ketiga:

خرج على جاره بالسيف و رماه بالشرك.

“Hingga ia keluar ke rumah tetangganya dengan menghunuskan pedang dan menuduhnya melakukan perbuatan syirik.”

Setelah mereka mengambil hati masyarakat dengan tampilan religius mereka, kemudian membelokkan pemahaman Al-Quran keluar dari jalan para ulama menuju jalan hawa nafsu. Sampailah mereka pada puncak tertinggi sekaligus tujuan mereka, yaitu menuduh syirik dan kemudian menghalalkan darah untuk ditumpahkan.

Syekh Muhammad Ahmad Sa'id Al-Azhari memaknainya dengan fase Al-Intiqal yang artinya berpindah. Dalam fase ini mereka tidak terlihat lagi sebagai orang yang beragama. Agama mana yang mengajarkan untuk menumpahkan darah?! Semoga Allah jaga kita semua dari fikiran yang semacam ini, hingga kita menemukan ajal.

Senin, 7 Februari 2022
Oleh: Gus Fahrizal Fadil


Editor: Daniel Simatupang