21 Ramadhan Mengenang Wafatnya KH. Abdul Karim Lirboyo

 
21 Ramadhan Mengenang Wafatnya KH. Abdul Karim Lirboyo
Sumber Gambar: KH. Abdul Karim Lirboyo (foto istimewa)

Laduni.ID, Jakarta - Kiai Haji Abdul Karim atau Mbah Manab adalah pendiri pondok pesantren Lirboyo Kediri, salah satu pesantren salaf Islam besar di Indonesia.

KH. Abdul Karim, lahir di dusun Banar, Kawedanan, Mortoyudan, Magelang, 1858 - meninggal di Lirboyo,Kediri, 1954 pada umur antara 97-98 tahun, dari pasangan Kyai Abdur Rahim dan Nyai Salamah. Manab adalah nama kecilnya dan merupakan putra ketiga dari empat bersaudara. Saat usia 14 tahun, mulailah ia melalang dalam menimba ilmu agama dan saat itu ia berangkat bersama sang kakak, Kiai Aliman.

Ayah beliau adalah seorang petani dan juga seorang pedagang. Kehidupan keluarganya sebenarnya berkecukupan, hanya setelah sang ayah meninggal dan usaha itu dilanjutkan oleh sang istri serta tak lama kemudian Salmah, Ibu beliau menikah lagi. 

Pendidikan

Setelah sang ayah meninggal dan usaha itu dilanjutkan oleh sang istri serta tak lama kemudian Salmah –ibu Manab- menikah lagi, Manab memutuskan untuk mengembara dengan tujuan menuntut ilmu, ingin meniru kedua kakaknya, yakni Aliman dan Mu`min yang lebih dulu berkelana.

Keinginan Manab itu, nampaknya terinspirasi dari kharisma alim ulama pengikut Pangeran Diponegoro, seperti Kiai Imam Rofi`i dari Bagelan, Kiai Hasan Bashori dari Banyumas dan lain-lain. Dia ingin mengikuti jejak mereka. Ia tidak rela jika hanya menjadi orang biasa, karena itu walau ia hanya anak seorang petani biasa, dia yakin bahwa keturunan sejati adalah keturunan sesudahnya, bukan sebelumnya. Karena bagi Manab, nasab tidaklah penting, yang penting adalah ilmu.

Suatu hari, Aliman pulang ke Magelang. Rupanya Aliman juga bermaksud mengajak Manab yang saat itu berusia 14 tahun untuk berkelana. Dengan berbekal restu orangtua, Manab akhirnya berangkat ke Jawa Timur. Dalam perjalanan itu, keduanya sampai di Dusun Gurah Kediri, bernama Babadan. Di susun inilah, keduanya menemukan sebuah surau yang diasuh oleh seorang kiai, dan mulai nyantri untuk mempelajari ilmu-ilmu dasar, seperti ilmu amalaiyah – dengan membagi waktu sambil ikut mengetam padi, menjadi buruh warga desa saat panen tiba.

Dari Pesantren yang pertama di desa Babadan Gurah Kediri tersebut,  kemudian beliau meneruskan pengembaraan ke daerah Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk, di sini kurang lebih selama 6 Tahun. Setelah dirasa cukup, Beliau meneruskan ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono, Nganjuk, Jawa Timur, disinilah ia memperdalam pengkajian ilmu Al-Quran.

Lalu ia melanjutkan pengembaraan ke Pesantren Sono, sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu Shorof-nya. 7 tahun lamanya ia menuntut ilmu di Pesantren ini. Selanjutnya ia nyantri di Pondok Pesantren Kedungdoro, Sepanjang, Surabaya. Hingga akhirnya, ia kemudian meneruskan pengembaraan ilmu, di salah satu pesantren besar di pulau Madura, asuhan Ulama’ Kharismatik; Syaikhona Kholil Bangkalan. Cukup lama ia menuntut ilmu di Madura, sekitar 23 tahun.

Mondok ke Mbah Kholil Bangkalan

Saat belajar ilmu di Madura, Manab banyak menimba ilmu dan tak jarang menerima berbagai ujian. Sempat Manab bekerja guna mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari bersama Abdullah Fiqih (dari Cemara, Banyuwangi) ke daerah Banguwangi dan Jember. Tapi, apa yang terjadi setelah ia bersusah payah kerja dan pulang dengan membawa hasil? Justru, hasil dari kerjanya itu diminta oleh kiai Kholil untuk makanan kambing-kambing sang kiai. Mau bagaimana lagi, Manab menyerahkannya. Rupanya, itu sebagai isyarat dari Kiai Kholil bahwa Manab ternyata tidak diijinkan bekerja. Konon, sebagai gantinya Manab disuruh memetik daun pace yang tumbuh di sekitar pondok untuk makan sehari-hari. Dari daun itu, Manab mengganjal perutnya. Konon sering makan sisa kerak nasi dari teman-temannya atau kadang ampas kelapa.

Tetapi, semua ini tidak pernah ia keluhkan. Bertahun-tahun ia melakukan tirakat ini sehingga tak aneh jika Manab lebih dikenal sebagai santri yang betah dalam keadaaan lapar. Anehnya, semua itu bagi Manab dirasa sebagai bentuk “perjuangan” untuk mendapat sesuatu yang diharapkan kelak.

Di pesantren ini, hampir 23 tahun Manab nyantri. Saat itu ia sudah berusia 40 tahun, sehingga sudah mencerminkan sosok yang alim dan figur Manab-pun telah menampakkan sosok sesorang kiai. Tidak salah, jika santri-santri menempatkan Manab sebagai kiai, tempat untuk bertanya, minta pendapat dan berguru. Salah satu kiai yang sempat berguru kepadanya adalah Kiai Faqih asal Patik Nganjuk.

Ulama alim

Kealiman Mbah Manab tentunya bukan sesuatu yang turun begitu saja dari langit. Mbah Manab dengan tekun mengaji kitab-kitab kuning dan melakukan telaah. Meski dia kekurangan uang untuk membeli kitab, namun dia punya siasat jitu. Konon, Mbah Manab sering melakukan barter. Kitab yang sudah dia pelajari, dia tukar dengan kitab-kitab baru milik temannya. Kadang langsung dijual, lalu dari uang itu dia belikan kitab yang baru.

Menikah

Setelah cukup lama belajar di Pondok Pesantren Nurul Cholil yang diasuh oleh KH. Kholil Bangkalan, beliau merasa Manab sudah lulus. Lalu Manab pamit pulang. Namun sesampainya di Jawa Timur, dia mendengar salah satu sahabatnya kala mondok di Madura, KH. Hasyim Asy`ari telah 3 tahun membina Pesantren Tebuireng, Jombang yang membuat Mbah Manab singgah. Di pesantren ini, ternyata dia tidak sekedar singgah dan malah sempat nyantri selama 5 tahun.

Meskipun usia Mbah Manab ketika itu sudah mendekati setengah abad, toh dia belum juga melepas masa lajang. Tanpa diduga-duga, datang seorang kiai dari Pare kepada KH. Hasyim yang ingin mengambil menantu Mbah Manab. Tetapi, KH. Hasyim diam-diam menolak lamaran itu, karena ingin menjodohkannya dengan dengan salah seorang putri kerabatnya, putri KH. Sholeh dari Banjarmlati, Kediri. Mbah Manab yang saat itu berusia 40 tahun akhirnya menikah dhn Khadijah yang berusia 15 tahun.

Hingga pada akhirnya KH. Hasyim asy’ari menjodohkan KH. Abdul Karim dengan putri Kyai Sholeh dari Banjarmlati Kediri, pada tahun1328 H/ 1908 M.

KH. Abdul Karim menikah dengan Siti Khodijah binti KH. Sholeh, yang kemudian dikenal dengan nama Nyai Dlomroh. Dua tahun kemudian KH. Abdul karim bersama istri tercinta hijrah ke tempat baru, di sebuah desa yang bernama Lirboyo, tahun 1910 M. Disinilah titik awal tumbuhnya Pondok Pesantren Lirboyo.

Secara garis besar KH. Abdul karim adalah sosok yang sederhana dan bersahaja. Ia gemar melakukan Riyadlah; mengolah jiwa atau Tirakat, sehingga seakan hari-harinya hanya berisi pengajian dan tirakat.

Perjuangan mendirikan pesantren

Dua tahun setelah menikah dengan Siti Khodijah Binti KH. Sholeh (Nyai Dlomroh), KH. Abdul karim bersama istri tercinta hijrah ke sebuah desa yang bernama Lirboyo, tahun 1910 M. Disinilah titik awal tumbuhnya Pondok Pesantren Lirboyo, yang kelak menjadi salah satu pesantren terbesar di Jawa dan dikenal luas hingga mancanegara.

Walau sudah menikah, Mbah Manab masih nyantri di Tebuireng. Setengah tahun kemudian, karena sebagai suami, dia akhirnya bermukim di Banjarmlati mendampingi sang istri. Satu tahun kemudian, lahir seorang putri pertama, Hannah (1909) dan Manab masih belum memiliki rumah.

Akhirnya, KH. Sholeh berkeinginan membeli tanah di Lirboyo dan memberikannya kepada Mbah Manab. Pembelian itu tidak menemui masalah, sebab Lirboyo dikenal sarang dari keonaran sehingga lurah Lirboyo yang tak mampu lagi menentramkannya memohon bantuan KH. Sholeh untuk menempatkan menantunya agar masyarakatnya yang kering akan siraman rohani bisa sadar. Akhirnya, Mbah Manab pun menetap di Lirboyo.

Dari situ, Mbah Manab boleh dikatakan merintis dari awal. Bahkan, di awal-awal Mbah Manab menetap di Lirboyo tidak jarang kena teror. Tujuannya agar Mbah Manab tak betah. Tapi dengan ketabahan, Mbah Manab justru berhasil menyadarkan penduduk.

Lalu, Mbah Manab memulai membangun sarana peribadatan, musholla yang 3 tahun kemudian disempurnakan menjadi masjid tahun 1913 M. Dengan keberadaan masjid itu keberhasilan dakwah Mbah Manab kian nampak. Masjid itu tidak sekedar hanya sebagai tempat ibadah, melainkan juga sebagai sarana pendidikan dan pengajian.

Dari situ, banyak masyarakat yang kemudian berguru, malahan ada seorang santri yang datang dari Madiun, bernama Umar. Santri pertama inilah yang kemudian menjadi cikal bakal keluarga besar Pesantren Lirboyo, yang dirintis dari nol oleh Mbah Manab.

Dengan tekun, rajin dan tabah, Mbah Manab mengembangkan pesantren. Dalam satu dasawarsa sudah banyak kemajuan yang dicapai. Jumlah santri semakin bertambah, datang dari berbagai penjuru. Untuk itu, ia kemudian merelakan sebagian tanahnya untuk dihuni santri. Begitulah sifat Mbah Manab, seorang pemimpin sejati yang mendahulukan kepentingan orang di atas kepentingan pibadi.

Tirakat

Pada mulanya, KH. Abdul Karim hanya dibuatkan sebuah “gubuk” di Lirboyo. Empat pilarnya hanya diambilkan dari batang pohon lamtoro. Dinding dan atapnyapun amat sederhana, hanya terbuat dari daun kelapa. Itupun hanya sampai setengah badan. Kemudian setelah “gubuk” tersebut berdiri sekitar satu minggu, tiba-tiba pada suatu pagi KH. Sholeh dawuh kepada Kyai Manab, “Kyai Manab, monggo nderek kulo” (Kyai Manab, ayo ikut saya.)

Kyai Manab hanya menjawab dengan sepatah kata, “Nggeh” (Ya)

KH. Sholeh mengajak serta dua santri Kyai Manab untuk turut serta menemani Kyai Manab untuk bermukim di Lirboyo. Kedua santri tersebut disuruh membawakan perbekalan Kyai Manab yang hanya berupa seekor ayam jago, tikar, dan beras satu ceting. Hanya itu kira-kira yang turut dibawa.

Menaiki sebuah dokar, perjalanan dari Banjarmelati menuju Lirboyo ditempuh. Sesampainya di Lirboyo, rombongan diajak masuk ke sebuah kebun. Kira-kira sekarang tempat itu adalah ndalem Ibu Nyai Hj. Qomariyyah.

Kyai Manab kemudian diajak masuk “gubuk” tadi oleh KH. Sholeh. KH. Sholeh menyuruh santri yang ikut untuk menata perbekalan Kyai Manab yang dibawakan.

“Kene santri, klosone beberen. Pitike cencangen neng cagak kono. Berase dekek kene.” (Sini! Gelar tikarnya, ikat ayamnya di pilar sebelah sana, berasnya diletakkan di sebelah sini.)

Setelah beberapa saat berbincang-bincang, KH. Sholeh dawuh “Kyai Manab, ting mriki panggenan sampeyan.” (Kyai Manab, disinilah tempatmu.) Kyai Manab lagi-lagi hanya menjawab, “Nggeh”

KH. Sholehpun kemudian pergi. Sebelum pergi, beliau berpesan kepada kedua santri Kyai Manab, “Wes ngko kyaimu nek butuh dhahar, iki berase masakne. Dene nek butuh bumbu-bumbu kono nggoleko ning kebon. Ngko nek kapan butuh, yo tukuo ‘nyo’ tak tak tinggali duit.” (Sudah. Nanti kalau kyaimu butuh makan, beras ini masaklah. Kalau memang membutuhkan, belilah. Ini saya tinggali uang.)

Kira-kira satu minggu kemudian, KH. Sholeh datang menengok dan mengunjungi Kyai Manab. Beliau amat terkejut, ternyata setelah satu minggu beras satu ceting yang beliau tinggalkan untuk Kyai Manab masih utuh tak berkurang sedikitpun. Santri yang menemani Kyai Manab tadipun dimarahi oleh KH. Sholeh,

“Lho, pie to gak mbok liwetno, gak mbok masakno!” (Lho! Bagaimana ini? Kok tidak kamu nanakkan nasi? Tidak kamu masakkan?)

Santri tersebutpun tidak dapat menjawab apapun. “Kyai mboten ngantos dawuh kapurih masak aken.” (Kyai Manab tidak pernah memrintahkan kami untuk memasakkan beliau), katanya.

“Lha opo sing mbok pangan?” (Lantas apa yang dimakan Kyai Manab?), Tanya KH. Sholeh kemudian.

“Namung dhahar godhong-godhongan meniko.” (Hanya makan dedaunan yang tumbuh), jawab santri tersebut.

Dari situlah awal mula Pondok Pesantren Lirboyo berdiri. Dengan muassisnya yang benar-benar tawakkal kepada Allah subhanahu wa ta'ala.

KH. M. Abdul Aziz Manshur paculgowang pernah menuturkan, “Jadi, berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo bukan didukung dengan harta yang banyak. Bukan! Bukan didukung dengan tahta yang tinggi. Bukan! Tapi hanya didukung dengan tawakkal ‘alallâh. Yakin. Mbah Kyai Abdul Karim ditempatkan digubuk yang hanya begitu saja, beliau selalu sumendhe. Pasrah kepada Allah subhanahu wa ta'ala.”

Teladan

Penampilan kiai pendiri dan sekaligus perintis pesantren Lirboyo ini, memang tidak mengesankan seorang kiai besar. Kiai satu ini cukup tawadu` dan sederhana. Tak salah, kesan yang tertangkap adalah seperti orang biasa, bukan seorang kiai yang alim. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu. Karena itu, pernah seorang santri baru yang datang ke pesantren mau mondok dan sempat kecele.

Ada satu sisi kehidupan Mbah Manab yang patut diteladani, yakni suka riyadhah, mengolah jiwa (tirakat). Kebiasaan ini tak pernah ditinggalkan, sejak menuntut ilmu sampai berkeluarga dan menjadi kiai pemangku pesantren. Selain itu, sering menghidupkan shalat malam. Jarang tidur, toh jika tidur cuma sebentar. BeIiau habiskan malam dengan dzikir, munajat kepada Allah, membaca al-Qur`an dan menelaah kitab. Kebiasaan ini tak asing di mata santri.

Mbah Manab ini juga dikenal lembut. Terbukti ketika menyadarkan santri, kiai memilih jalan menasehatinya dengan tindakan dan kadang-kadang dalam bentuk tulisan yang ditempelkan di dinding pesantren. Pendek kata, kiai memilih jalan menasehati tanpa ada unsur pemaksaan. Apalagi, sampai dengan cara melukai hati.

Tapi, hal yang sungguh luar biasa adalah bentuk tawakkal yang dipegang teguh oleh Mbah Manab. Pernah Belanda menyerbu ke pesantren tapi ia tetap diam dan tak gentar sedikitpun. Meski demikian, di masa penjajahan Belanda, kiai tak lantas berpangku tangan. Bahkan pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945), ia bersama para ulama sempat dipanggil ke Jakarta. Tujuan Jepang saat itu adalah untuk membentuk Shumubu, Jawatan Agama Pusat yang kemudian diketuai oleh KH. Hasyim Asy`ari dan Shumubu (JA Daerah).

Ulama pejuang

Mbah Manab juga ikut menggembleng dan memberikan doa restu kepada barisan Sabilillah dan Hizbullah. Di samping itu, ia mengirimkan para santrinya untuk ikut bertempur di Medan laga, dua kali ke Surabaya dengan jumlah santri mencapai 97 dan 74 orang, dan sekali ke Sidoarjo dengan jumlah pasukan 309 santri. Juga sempat terlibat dalam pelucutan senjata tentara Jepang di Kediri. Jadi, sang kiai terlibat dalam mempertahankan kemerdekaan negeri ini.

Ulama sabar dan rendah hati

Alkisah, suatu hari ada seorang santri yang datang ke pesantren Lirboyo, mau berguru kepada KH. Abdul Karim. Saat turun dari kendaraan, tepatnya di lingkungan pesantren dan menemui KH Abdul Karim (yang lantaran tidak berpenampilan layaknya seorang kiai), dengan tanpa sungkan, santri itu meminta bantuan untuk membawakan kopernya ke kamar. Anehnya, sang kiai tak keberatan, justru diam saja dan langusng mengangkat barang bawaan santri tersebut.

Saat santri itu memasuki pesantren diiringi sang kiai membawa koper miliknya, tak sedikit santri Lirboyo yang kaget. Bahkan ada yang lari karena ketakutan. Anehnya, kekagetan dan ketakutan santri-santri itu tak membuat santri baru tersebut tanggap, malah biasa-biasa saja, Cuek. Selang beberapa hari kemudian santri itu baru tahu saat ikut shalat berjama`ah setelah melihat bahwa orang yang membawakan kopernya kemarin itu menjadi iman, yang tak lain adalah KH. Abdul Karim. Kontan, santri anyar itu tersentak kaget. Beberapa hari kemudian, entah tak kuat menahan atau menanggung malu, santri itu pulang kampung, tidak pamit.

Sepenggal kisah di atas baru satu bentuk kerendahan hati KH. Abdul Karim. Sebab, kiai satu ini juga dikenal amat sabar, jauh dari sifat marah, santun dalam bertutur dan jika menasehati orang lain lebih pada bentuk “tindakan” daripada kata-kata. Lebih dari itu, kiai satu ini berasal dari keluarga biasa yang berjuang dan tekun belajar hingga akhirnya bisa jadi kiai yang alim.

Karomah : Dengan Sedekah Pergi ke Haji

Tapi belum sempurna jika Mbah Manab belum menunaikan rukun Islam kelima. Itulah yang masih mengganjal dalam benaknya. Karena itu, setelah kebutuhan santri dipenuhi, dia berkeinginan untuk menunaikan ibadah haji. Awalnya, dia mau menjual tanah untuk biaya haji, tapi sebelum tanah itu terjual, kabar keberangkatan ternyata sudah tersiar.

Dari kabar itulah, banyak penduduk yang ingin mengucapkan selamat dan memberikan tambahan bekal. Anehnya, dari uang pemberian itu terkumpul uang banyak dan sudah bisa digunakan pergi haji dengan tanpa harus menjual tanah. Akhirnya, Mbah Manab pun berangkat ke tanah suci dan sepulang dari tanah suci itu, kiai Manab mengganti namanya menjadi KH. Abdul Karim.

Pergi Haji

Pada tahun 1950-an, tatkala KH. Abdul Karim menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya -sebelumnya ia melaksanakan ibadah haji pada tahun 1920-an- kondisi kesehatannya sudah tidak memungkinkan, namun karena keteguhan hati akhirnya keluarga mengikhlaskan kepergiannya untuk menunaikan ibadah haji, dengan ditemani sahabat akrabnya KH. Hasyim Asy’ari dan seorang dermawan asal Madiun H. Khozin.

Tetapi tatkala tiba di Surabaya, kondisinya tampak payah, sehingga tim dokter meragukan kesehatan kiai untuk dapat menunaikan ibadah haji.

Tapi, karena niat itu sudah bulat, maka Mbah Manab melakukan berbagai cara. Atas bantuan KH. Wahid Hasyim akhirnya ia bisa berangkat dari Jakarta. Seusai ibadah haji kedua, Mbah Manab mulai menunjukkan tanda kurang sehat. Beberapa waktu, sempat sakit-sakitan. Akan tetapi yang cukup menyedihkan adalah kesehatan itu kian turun drastis sehingga saraf sebelah kaki tak lagi berfungsi, mengakibatkan ia lumpuh.

Sebenarnya kelumpuhan itu sempat diderita cukup lama, hampir satu setengah tahun. Sampai akhirnya saat memasuki bulan Ramdhan 1374 H, seminggu kemudian sakit Mbah Manab semakin kritis, sehingga tidak mampu lagi memberikan pengajian dan menjadi imam jama`ah dalam shalat.

Pesan santri harus bisa menjadi paku

Mbah Manab adalah sosok yang sangat qanaah dan sangat perhatian kepada santri-santrinya. Beliau mengaji sejak subuh hingga tengah malam. Di malam hari bahkan beliau kerap tidak tidur untuk beribadah kepada Allah SWT.

Salah satu pesan terkenal Mbah Manab kepada para santrinya adalah "santri harus bisa menjadi paku". Artinya, ketika sudah pulang ke rumahnya, para santri diharapkan bisa menyatukan masyarakat yang beragam.

Pesan Mbah Manab ini memiliki filosofis yang sangat dalam. Seperti bangunan rumah, paku memiliki fungsi sangat luar biasa. Baik paku yang berukuran besar maupun yang berukuran kecil selalu menyatukan berbagai hal, sehingga sebuah rumah bisa berdiri dengan kokoh.

Dalam sebuah bangunan, paku tidak perlu kelihatan, tetapi selalu ada. Sampai karat pun, paku tetap selalu ada dan selalu menyatukan bangunan yang kokoh tersebut. Begitu juga dengan santri sebagai elemen penting dalam pembangunan masyarakat. Santri selalu dibutuhkan di manapun berada.

Oleh karena itu, santri harus selalu siap dan bertanggung jawab untuk menyatukan masyarakat yang heterogen. Jadi, santri kalau sudah pulang harus benar-benar mengayomi masyarakat, walaupun perannya tidak diakui oleh masyarakat.

Amalan

Berikut ini amalan pada malam Hari Raya (Idul Adlha dan Idul Fitri), seperti disebut dalam kitab Kanzun Najah Was Surur, karya Syaikh Abdul Hamid Al Qudsi, dan riwayat dawuh Syaikh Abdul Karim Lirboyo (Mbah Manab) oleh Syaikhina KH.Maimoen Zubair. Nabi Muhammad SAW bersabda:

عن عبادة بن الصامت رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: “من أحيا ليلة الفطر وليلة الأضحى لم يمت قلبه يوم تموت القلوب” رواه الطبراني في الكبير والأوسط.

Dari Ubadah Ibn Shomit r.a. Sungguh Rosulullah SAW bersabda: Barangsiapa menghidupkan malam Idul Fitri dan malam Idul Adlha, hatinya tidak akan mati, di hari matinya hati. HR.Thobaroni

عن أبي أمامه رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : “من قام ليلتي العيدين محتسباً لم يمت قلبه يوم تموت القلوب”. وفي رواية “من أحيا” رواه ابن ماجه

Dari Abi Umamah r.a, dari Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, bersabda: Barangsiapa menegakkan dua malam Hari Raya dengan hanya mengharap Allah, maka hatinya tidak akan mati pada hari matinya hati. (HR. Imam Ibnu Majah)

Bagaimana cara menghidupkan/ menegakkan dua hari raya itu? Telah disebutkan oleh Syaikh Abdul Hamid Al Qudsi, dengan mengamalkan beberapa amalan:

1. Syaikh Al Hafni berkata: Ukuran minimal menghidupkan malam bisa dengan Sholat Isya’ berjama’ah dan meniatkan diri untuk jama’ah Sholat Shubuh pada besoknya. Atau memperbanyak sholat sunnah dan bacaan-bacaan dzikir.

2. Syaikh Al Wanna’i dalam kitab risalahnya: Barangsiapa membaca istighfar seratus kali (100×) setelah Sholat Shubuh di pagi Hari Raya, maka akan dihapus dosa-dosanya di dalam buku catatannya, dan pada hari kiamat akan aman dari siksa.

3. Masih dari Syaikh Al Wanna’i: Barangsiapa membaca :

سبحان الله وبحمده

Subhaanallah wa bihamdihi 100× pada hari raya, dan menghadiahkan pahalanya untuk ahli kubur, maka para ahli kubur berkata,”Wahai Dzat Yang Maha Penyayang, rahmatilah ia, dan jadikanlah ia ahli surga”.

4. Syaikh Al Fasyni berkata dalam Tuhfatul Ikhwan: Dari Sahabat Annas, dari Nabi SAW, dawuh (yang artinya): Hiasilah dua hari raya dengan tahlil, taqdis, tahmid dan takbir”. Nabi juga dawuh: Barangsiapa yang membaca:

سبحان الله وبحمده

Subhaanallah wabihamdihi 300× dan ia menghadiahkan untuk muslimin yang sudah wafat, maka seribu cahaya akan masuk di setiap kuburan, dan Allah akan memasukkan seribu cahaya ke kuburnya jika ia meninggal.

5. Syaikh Az Zuhri berkata: Sahabat Anas r.a. berkata, Nabi SAW dawuh (yang artinya): Barangsiapa di dua hari raya mengucapkan:

لا اله الا الله وحده لا شريك له، له الملك و له الحمد يحي و يميت و هو حي لا يموت بيده الخير وهو على كل شيئ قدير

sebanyak 400× sebelum Sholat ‘Ied, maka Allah SWT akan menikahkannya dengan 400 bidadari, seakan memerdekakan 400 budak, dan Allah SWT mewakilkan para malaikat untuk membangun kota-kota dan menanam pohon-pohon untuknya di hari kiamat.

Beliau Syaikh Az Zuhri berkata: “Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku mendengarnya dari Sahabat Anas r.a. Dan Anas r.a. dahulu juga berkata: “Aku tidak pernah meninggalkannya semenjak aku mendengarnya dari Nabi SAW.”

Diriwayatkan dari Syaikhina Wa Murobbi Ruuhina KH.Maimoen Zubair, dari Syaikh Abdul Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur, beliau berkata:

“Sak makendut-makendute santri ojo nganti ora ngurip-urip malem rioyo loro, kanthi sholat ba’diyah Isya’ rong rakaat ditambah sholat witir sak rakaat”. (Senakal-nakalnya santri jangan sampai tidak menghidupkan dua malam hari raya (Idul Fithri dan Idul Adlha) dengan melaksanakan sholat sunah minimal dua rokaat setelah Isya’ dan satu rokaat witir”. qobiltu

Agar lebih banyak yang mengamalkan, silakan share post ini ke teman-teman lain. Supaya takbiran tidak hanya di isi dengan takbir keliling yang kadang melupakan esensi dzikir kepada Allah.

Sanad keilmuan jalur Mbah Kholil Bangkalan

Beliau punya sanad keilmuan yang bersambung sampai Rasulullah shalallahu alaihi wasallam sebagai berikut :

Mohon bagi warga Aswaja/NU untuk di save/simpan/di share sanad mulia ini demi terwujudnya "Islam Rahmatan Lil Aalamiin"

1. Sayyidul Wujud Insanul Kamil Nabi Muhammad Rasulullah SAW
2. Al Imam Sayyidina Ali bin Abi Thalib "Karramallaahu Wajhahu"
3. Muhammad (Putra Sayidina Ali, dari istri kedua Kaulah bin Ja’far)
4. Al Imam Wasil bin Atho’
5. Al Imam Amr bin Ubaid
6. Al Imam Ibrohim Annadhom
7. Al Imam Abu Huzail Al-Alaq
8. Al Imam Abu Hasi Adzuba’i
9. Al Imam Abu Ali Adzuba’i
10. Al Imam Abu Hasan al Asy'ari (Pendiri Faham “Ahlussunnah WAl Jama’ah” ASWAJA) 234 Karangannya : Kitab Maqolatul Islamiyin, Al Ibanah, Al Risalah, Al-Luma’, dll
11. Al Imam Abu Abdillah Al Bahily
12. Al Imam Abu Bakar Al Baqilany, karangannya : Kitab At Tamhid, Al Insof, Al bayan, Al Imdad, dll.
13. Al Imam Abdul Malik Imam Haromain Al Juwainy, karangannya : Kitab Lathoiful Isaroh, As Samil, Al Irsyad, Al Arba’in, Al kafiyah, dll
14. Al Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghozali. Karangannya : Kitab Ihya Ulumuddin, Misyakatul Anwar, Minhajul Qowim, Minhajul Abidin dll.
15. Abdul Hamid Assyeikh Irsani. Karangannya: kitab Al Milal Wannihal, Musoro’atul Fulasifah, dll.
16. Muhammad bin Umar Fakhrur Raazi, Karangannya: Kitab Tafsir Mafatihul Ghoib, Matholibul ‘Aliyah, Mabahisul Masyriqiyah, Al Mahsul Fi Ilmil Usul, dll
17. Abidin Al Izzy, karangannya: Kitab Al Mawaqit Fi Ilmil Kalam.
18. Abu Abdillah Muhammad As Sanusi, Karangannya: Kitab Al Aqidatul Kubro dll.
19. Imam Al Bajury, karangannya: Kitab Jauhar Tauhuid, dll.
20. Imam Ad Dasuqy, karangannya: Kitab Ummul Barohin, dll.
21. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, karangannya: Kitab Sarah jurumiyah, Sarah Al Fiyah, dll.
22. Ahmad Khotib Sambas Kalimantan, Karangannya : Kitab Fathul ‘Arifin, dll.
23. Muhammad An Nawawi Banten, Karangannya :Syarah Safinatunnaja, Sarah Sulamutaufiq, dll. Yang Mayoritas Ulama Di Indonesia memakai Karangan Syeikh Nawawi Albantaniy sebagai Kitab Rujukan.
24. Syech Mahfudz At-Termasi (mursyid Hadist Budhori matan ke-23), muridnya al :– Syech Arsyad Al-Banjari - Banjarmasin– Syaikhona Kholil - Bangkalan Madura–Abdul Shomad Al-Palembangi- Palembang
25. KH. Hasyim Asy’Ari (Pendiri NU)

Sejumlah murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh Syaikhona Kholil bangkalan adalah: Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH. Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH. Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun (Rembang), Kiai Ahmad Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni (Sumenep), Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan), dan lain-lain.

Wafat

Sosok KH. Abdul Karim adalah sosok yang sangat istiqomah dan berdisiplin dalam beribadah, bahkan dalam segala kondisi apapun dan keadaan bagaimanapun, hal ini terbukti tatkala ia menderita sakit, ia masih saja istiqomah untuk memberikan pengajian dan memimpin sholat berjemaah, meski harus dipapah oleh para santri.

Tepat, pada hari senin ketiga di bulan suci Ramadhan tahun itu, atau tepatnya tanggal 21 Ramadhan 1374 H / 14 Mei 1955 M, sekitar pukul 13.30 WIB, KH. Abdul Karim dipanggil Sang Kuasa. Suasana sedih tentu melingkari keluarga Pesantren Lirboyo. Sebab, pendiri pesantren yang selama itu diagungkan telah tiada. Pada sisi yang lain, juga meninggalkan jejak bangunan pesantren yang perlu untuk diteruskan. dimakamkan di belakang masjid Lirboyo.

Semoga kita mampu meneruskan perjuangan dan pesan beliau, dan semoga kita mendapatkan barokah kemuliaannya. Aamiin.


Source by Al-Faqir Ahmad Zaini Alawi Khodim Jamaah Sarinyala