Biografi KH. Abdul Wahid Zaini

 
Biografi KH. Abdul Wahid Zaini
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi Biografi KH. Abdul Wahid Zaini

1.      Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1    Lahir
1.2    Wafat
1.3    Keluarga

2.      Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1    Pendidikan
2.2    Guru
2.3    Mengasuh Pondok Pesantren

3.      Karier
4.      Chart Silsilah Sanad
5.      Referensi

 

1.   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

KH. Abdul Wahid Zaini lahir pada hari Jum'at tanggal 17 Juli 1942 di Desa Galis, Pamekasan, Madura. Beliau merupakan putra kedua dari tujuh bersaudara dari pasangan KH. Zaini Mun'im dan Nyai Hj. Nafi'ah.

1.2 Wafat

Hampir seluruh hidup KH. Abdul Wahid Zaini diwakafkan demi perjuangan dan pengabdian kepada agama, negara dan bangsa. Dengan penuh kesabaran, ketekunan dan pemikiran yang luar biasa, beliau mengabdikan diri untuk Pesantren dan organisasi NU. Beliau aktif di RMI dan LAKPESDAM NU.

Pada tanggal 18 Sya’ban 1421/15 November 2000, tanpa ada firasat apa-apa, secara tiba-tiba beliau dipanggil oleh Allah SWT. Beliau meninggal dunia dengan segudang keteladanan. Kepergiannya merupakan duka yang mendalam bagi keluarga, para santri, dan secara umum masyarakat Nahdliyin.

1.3 Keluarga

KH. Abdul Wahid Zaini menikah dengan Nyai Hj. Zubaidiyyah Toha dan dianugerahi delapan orang anak, yaitu:
1) Abd. Hamid Wahid, M.Ag.
2) Eny Halimiyah Wahid
3) Nur Diana Khalidah Wahid
4) Najiburrahman Wahid, D.E.S.A.
5) Fitroh Hanifiyyah Wahid
6) Hilyah Mashunah Wahid
7) Sholahuddin Wahid
8) Madarik Wahid.

2.   Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan

KH. Abdul Wahid Zaini memulai pendidikannya dengan belajar kepada ayahandanya. Ketika belajar kepada sang ayah, beliau merupakan sosok yang memiliki kecerdasan yang tinggi. Meski demikian, beliau tetap tekun dalam muthola’ah tiap materi pelajaran.

Saat menginjak usia dewasa, Kiyai Wahid kemudian mondok ke Pesantren Peterongan Jombang, yang kala itu diasuh oleh KH. Musta’in Ramli.

Selain mondok, Kiyai Wahid juga meneruskan jenjang pendidikannya di sekolah Pendidikan Mu’allimin Atas (saat ini menjadi MTs dan MA). Sebagai santri di Pesantren Darul Ulum, selain aktif mengikuti setiap kegiatan ke pesantrenan, Kiyai Wahid muda juga turut memikirkan kemajuan pesantren. Kala itu beliau pernah menggagas tentang berdirinya IKDU (Ikatan Keluarga Darul Ulum).

Tujuan organisasi ini adalah untuk mengakomodir santri dari berbagai daerah, yang selanjutnya diharapkan bisa memberikan sumbangan, baik pemikiran atau lainnya, demi kemajuan pesantren.

Dalam perkembangannya, IKDU berubah menjadi IKAPPDAR (Ikatan Keluaga Besar Pondok Pesantren Darul Ulum). Memasuki tahun 1962, Kiyai Wahid muda melanjutkan proses belajarnya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya.

Di IAIN, beliau masuk Fakultas Syari’ah dan memilih Jurusan Akhwal As-Syakhsiyah. Saat itu pula, beliau menyempatkan diri kuliah di Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang, Fakultas Hukum. Di IAIN Sunan Ampel, selain menekuni bidang akademik, beliau juga terjun dalam dunia organisasi. Beliau termasuk perintis berdirinya organisasi PMII di kampus tersebut.

Di organisasi PMII beliau dipercaya menjabat sebagai ketua komisariat untuk lingkungan kampus IAIN Sunan Ampel, Surabaya dan Daerah Surabaya Selatan. Selanjutnya, beliau juga dipercaya sebagai sekretaris dan ketua satu untuk Wilayah Jawa Timur (sekarang Koordinator Cabang).

Selain aktif di PMII, pada awal tahun 1960-an, beliau juga menempa bakat keorganisasiannya di Ikatan Pemuda Nahdlatul Ulama (IPNU) Wilayah Jawa Timur, dan pada tahun 1964 dipercaya sebagai koordinator departemen mahasiswa dan perguruan tinggi Wilayah Jawa Timur.

Selanjutnya, aktivitas Kiyai Wahid muda bertambah padat, sebab beliau pernah menjadi Rektor Institut Agama Islam Nurul Jadid (IAINJ) di Paiton Probolinggo, sekaligus pada saat yang sama beliau juga dipercaya menjadi anggota DPRD tingkat I Provinsi Jawa Timur melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dan, karena padatnya kesibukan ini, maka kewajiban akademis (skripsi) di IAIN Sunan Ampel sempat terbengkalai. Meski demikian, berkat dorongan dari sahabat karibnya, Prof. Dr. Syaichul Hadi Purnomo, SH, akhirnya beliau bisa menyelesaikan tugas akhir tersebut.

Selesai ujian dengan nilai summa cumlaude (sangat sempurna). Kemudian Kiyai Wahid mengikuti wisuda dan meraih gelar Doktorandus (S1) pada periode akademik 1990-1991. Sebelumnya, pada tahun 1984 beliau telah berhasil memperoleh gelar Sarjana Hukum (S1) di Universitas Darul Ulum (Undar) Jombang.

Selian kegiatan pendidikan, Kiyai Wahid juga berjuang di NU. Perjuangan Kiyai Wahid diawali dengan ajakan kakak kandungnya, KH. Muh. Hasyim Zaini dan adik iparnya, KH. Hasan Abdul Wafi, untuk ikut aktif mengikuti kegiatan di organisasi NU. Sejak saat itu beliau mulai aktif di NU.

2.1 Guru
1. KH. Zaini Mun'im
2. KH. Musta’in Ramli

2.3 Mengasuh Pesantren
Meski kesibukan KH. Abdul Wahid Zaini di luar pesantren sangat padat, tapi beliau tetap bisa mengurus pesantren dengan baik. KH. Abdul Wahid menjadi Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid pada masa 1984-2000. Pada masa beliau, Pondok Pesantren Nurul Jadid mengalami perkembangan yang sangat pesat, baik mengenai jumlah santri maupun dalam pelayanan dan pengembangan kemasyarakatan.

Dalam memimpin pesantren, Kiyai Wahid dibantu adik-adiknya, KH. Hasan Abd. Wafi selaku Dewan Pengawas Pesantren, KH. Fadlurrahman dan KH. Faqih Zawawi selaku Dewan Pertimbangan Pesantren. Selama menjadi Pengasuh Pesantren Nurul Jadid, Kiyai Wahid tidak hanya mengarahkan para santrinya agar mampu memahami ilmu-ilmu agama dan tekhnologi, tapi beliau juga mendorong memajukan kemandirian masyarakat sekitar pesantren lewat pendidikan, ekonomi dan kesehatan.

Dalam bidang pendidikan, dilakukan pembenahan mulai dari TK (Taman Kanak-Kanak) hingga Perguruan Tinggi. Pembenahan ini dimulai pada tahun 1989. Setelah Pesantren Nurul Jadid menjalin kerjasama dengan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), TK Nurul Muni’m kemudian diubah menjadi TK Bina Anaprasa.

Satu tahun kemudian, beberapa lembaga pendidikan yang sebelumnya hanya memiliki status terdaftar dan diakui, telah diusahakan menjadi disamakan. Dengan peningkatan status ini, lembaga pendidikan tersebut sejajar dengan lembaga pendidikan negeri. Di antara lembaga tersebut adalah SMUNJ (disamakan pada tahun 1990), SMPNJ (disamakan pada tahun 1991), dan MTsNJ serta MANJ (disamakan pada tahun 1997). Pada tahun 1992, di Pesantren Nurul Jadid juga telah dirintis berdirinya Madrasah Aliyah Program Keagamaan (MAPK).

Semua ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan anak didik dalam memahami kitab klasik dan juga mampu berbahasa asing (Arab dan Inggris). Pada tahun 1995, berdasarkan kurikulum baru, MAPK berubah menjadi MAK.

Selain itu, upaya-upaya pengembangan juga dilakukan pada jenjang Perguruan Tinggi, seperti perubahan status dari PTID menjadi Institut Agama Islam Nurul Jadid (1986). Pengembangan ini dilakukan karena konsentrasi keilmuan di tubuh PTID bertambah menjadi tiga fakultas, yaitu Fakultas Dakwah, Tarbiyah dan Syari’ah dengan dua jurusan pada masing-masing fakultas. Kemudian pada tahun 1999, masing-masing fakultas tersebut lolos akreditasi Badan Akreditasi Nasional (BAN).

Selanjutnya, untuk menjawab tantangan perkembangan zaman, dikembangkan juga bidang keahlian Information Technology (IT). Dan pada tahun 1999 didirikan STT (Sekolah Tinggi Tekhnologi) Nurul Jadid yang semula hanya berupa kursus komputer.

Pada masa Kiyai Wahid, di dalam pesantren juga didirikan Lembaga Pengembangan Bahasa Asing (LPBA) yang menjadi cikal bakal pendidikan D1 bahasa Inggris. LPBA ini diharapkan dapat menghidupkan ghirah atau semangat dalam berbahasa asing agar mampu bersaing secara positif di dunia keilmuan modern.

Selain itu, berbagai upaya mendorong kemandirian masyarakat sekitar pesantren juga digalakkan. Misalkan, melalui Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM),  didirikanlah USP (Unit Simpan Pinjam) yang dirintis tahun 2000. Koperasi ini dadasari semangat membantu dan memberdayakan para petani tembakau dengan memberikan pendampingan pada mereka. Ide ini muncul karena petani tembakau di sekitar Paiton tidak memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan para pengambil kebijakan. Padahal tembakau merupakan sumber utama ekonomi masyarakat Paiton. Lalu melalui Paperton, pesantren dan masyarakat bermusyawarah seputar persoalan-persoalan pertembakauan, seperti kapasitas produksi, kapasitas daya tampung gudang dan lain-lain. Dari sini kesejahteraan petani tembakau semakin mendapatkan perhatian. 

Di dalam Pesantren Nurul Jadid juga dirintis berbagai usaha agrobisnis berupa penanaman varietas tanaman. Sebab seringkali tanaman petani hanya sejenis. Akibatnya, kalau satu terserang hama, semua tanaman akan ludes.

Selain ini ada usaha lainnya yang dikembangkan, yakni berupa peternakan dan perikanan. Lalu dalam rangka membantu masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan yang baik, Pesantren Nurul Jadid juga mendirikan BP (balai pengobatan) Azzainiyah yang semula bernama Usaha Pelayanan Kesehatan Santri (UPKS).

Banyak lini usaha dan lembaga pemberdayaan yang telah dikembangkan pada masa Kiyai Wahid memimpin Pesantren Nurul Jadid. Bahkan, saat itu juga sempat didirikan panti asuhan untuk menampung anak-anak dari kalangan ekonomi lemah.

3 Karier

3.1 Karier di Nahdlatul Ulama (NU)

Mulanya, beliau mengawali aktivitas keorganisasian di Majelis Wakil Cabang (MWC) NU Paiton. Selanjutnya, pada tahun 1971 Kyai Wahid dipercaya menjadi ketua umum Tanfidziyah PC NU selama satu periode (1971-1975). Lalu pada periode 1978-1980, 1980-1984 dan 1984-1988, beliau dipercaya sebagai Wakil Khatib Syuriyah di Pengurus Wilayah (PW) NU Jawa Timur.

Kemudian pada periode 1988-1992 s/d 1992-1996 beliau dipercaya menempati posisi Wakil Rais Syuriyah PW NU Jawa Timur. Sebelum masa jabatan di PWNU berakhir, beliau dipercaya menjadi salah satu Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar (PB) NU periode 1994-1999, melalui Muktamar NU ke 29 di Cipasung Jawa Barat tahun 1994.

Ketika Kyai Wahid aktif sebagai pengurus PWNU Jawa Timur, mulai tahun 1978 s/d 1996, beliau banyak mengeluarkan beberapa gagasan demi kemajuan NU. Di antaranya adalah: Pertama, Kyai Wahid berharap agar kantor PWNU dalam setiap harinya diisi oleh salah satu pengurus inti NU, baik ketua, wakil ketua dan atau lainnya. Sehingga, kantor PWNU bisa difungsikan sebagai tempat konsultasi, menampung aspirasi masyarakat dan melayani kepentingan warga NU. Kedua, agar dalam setiap periode NU memiliki program prioritas dan benar-benar bisa dijalankan secara optimal tanpa harus menghilangkan program yang lain. Program prioritas ini harus sistematis. Artinya, antara satu periode dengan periode selanjutnya ada kesinambungan. Tujuannya, agar masyarakat dapat mengetahui dan merasakan program NU dalam satu periode. Ketiga, beliau juga berfikir tentang peta jama’ah NU, baik yang berada di pedesaan maupun di kota. Dengan peta ini, diharapkan agar para pengurus NU mengetahui basis NU; mayoritas dan minoritas warga NU berada di daerah mana saja dan lebih jauh, para pengurus NU bisa lebih mudah mengetahui kondisi sosio-kultur dan kebutuhan warga NU di setiap daerah. Pengetahuan ini akan mempermudah para pengurus NU ketika merencanakan sebuah program di suatu daerah. Kelak, ketika program tersebut dilaksanakan tidak akan terjadi kontra-produktif.

Pemikiran-pemikiran Kyai Wahid di atas tidak seluruhnya dikemukakan dalam rapat kepengurusan formal. Bahkan lebih sering beliau lontarkan dalam diskusi-diskusi kecil atau saat ngobrol santai dengan para pengurus lainnya. Dalam diskusi tersebut, biasanya beliau ditemani dengan koleganya, yakni KH. Imron Hamzah.

Selain itu, Kyai Wahid sempat juga tergabung dan berjuang di LAKPESDAM. Pada tahun 1984, selain tercatat sebagai perintis berdirinya Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM), Kyai Wahid juga dipercaya sebagai Direkturnya untuk Wilayah Timur, yang meliputi seluruh daerah Jawa Timur hingga NTT. Selama menjadi Direktur LAKPESDAM, acapkali beliau menyelenggarakan pelatihan peningkatan kualitas SDM terhadap para pengurus cabang NU se-Jawa Timur, para Kyai, dan tokoh masyarakat.

Adapun materi yang disampaikan dalam agenda ini adalah keorganisasian, menejemen dan kepemimpinan. Sedangkan nara sumber yang dihadirkan antara lain terdiri dari tokoh-tokoh nasional seperti Gus Dur, Dr. Syaifuddin Zuhri, MM. Billah, dan lainnya. Meski menjadi penyelenggara kegiatan pelatihan, Kyai Wahid tidak kemudian menjaga jarak dengan para peserta pelatihan. Tanpa harus merasa gengsi, beliau ikut aktif mendampingi atau lebur dengan mereka sampai tuntas. Hal ini beliau lakukan, selain karena karakter beliau yang haus akan ilmu, juga agar beliau bisa akrab dengan para peserta pelatihan. Terhadap para alumni pelatihan, beliau berharap agar nantinya mereka bisa menjadi kader dan pengurus NU yang mumpuni, sehingga bisa turut mengembangkan dan memajukan NU menjadi organisasi besar dan profesional.

Adapun visi-misi Kyai Wahid ketika menangani LAKPESDAM adalah:

  • Pertama, agar LAKPESDAM menjadi lembaga independen dan tidak tergantung pada NU, terutama soal pendanaannya.
  • Kedua, sebagai program prioritas adalah membagun SDM terlebih dahulu dari pada membangun fasilitas fisik.
  • Ketiga, sebagai jam’iyah maka program-program yang dilaksanakan harus membumi (kongkrit), sehingga warga NU dapat menikmati hasilnya secara langsung. Dan pada tahun 1990, demi kaderisasi, akhirnya Kyai Wahid mengakhiri masa jabatannya di LAKPESDAM.

Lalu beliau juga sempat berjuang di RMI Sebagai tokoh dan sekaligus pengasuh pondok pesantren besar yang selalu memunculkan ide kreatif. Kehadiran Kyai Wahid di lembaga otonom NU, Rabhitah Ma’ahidi Al-Islamiyyah (RMI) disambut baik oleh banyak kalangan. Di lembaga ini, beliau dipercaya sebagai ketua umum selama dua periode:

  1. Ketika menggantikan posisi Kyai Najib.
  2. Setelah menang dalam pemilihan ketua RMI yang diselenggarakan pada muktamar NU ke-28 di Krapyak Yogyakarta (periode 1988-1993). Sebagai ketua umum RMI, Kyai Wahid banyak melakukan terobosan baru. Di antaranya adalah;
  1. beliau mulai merintis terbentuknya pengurus RMI di tingkat cabang dan wilayah, baik di Pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat dan hampir menyentuh seluruh provinsi di Indonesia.
  2. Kontekstualisasi fiqih melalui penyelenggaraan kegiatan halaqah di pondok pesantren secara bergantian. Kegiatan ini diselenggarakan mulai dari Banten hingga Kabupaten Banyuwangi, di antaranya di Pesantren Watucongol, Pesantren Darul Ulum Jombang, Pesantrren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Pesantren Nurul Jadid Probolinggo, Pesantren Cipasung dan Pesantren Blok Agung Banyuwangi.

Kyai Wahid pernah menyampaikan satu kritikan yang sangat membangun. Beliau mengatakan: "Mengapa halaqah perlu diselenggarakan? Karena kita ini sudah jauh tertinggal oleh perkembangan zaman. Memang, kita alim (pandai) dalam urusan keagamaan dan Fiqih. Tapi tanpa didukung oleh informasi, wawasan perkembangan sains dan teknologi, kita tidak akan bisa berbuat banyak. Ada seorang Kyai ditanya tentang hukumnya memakai microfon (pengeras suara) atau speaker. Karena sang Kyai belum pernah tahu apa itu microfon, sedangkan dalam kitab-kitab klasik disebutkan bahwa microfon adalah barang buatan orang kafir, maka sang Kyai menjawab hukumnya haram. Padahal saat itu juga Kyai tersebut menggunakan alat pengeras microfon. Tapi kemudian, setelah diberi penjelasan tentang microfon, Kyai tadi langsung menjawab boleh."

Dalam kegiatan halaqah, para partisipan tidak hanya diajak berdialog dan berdiskusi. Tapi mereka juga diajak untuk berpikir tentang persoalan-persoalan kemasyarakatan yang timbul di sekitarnya. Beberapa tema yang pernah diangkat dalam kegiatan halaqah tersebut antara lain adalah masalah hukum agraria, keluarga bencana, pertanian dan perpajakan.

Dari sekian kegiatan halaqah, seringkali Kyai Wahid terlibat langsung dalam merumuskan konsepnya dan melakukan kerjasama dengan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Kerjasama dengan P3M ini tergolong mudah, karena di saat yang sama Kyai Wahid merupakan penasehat dan termasuk salah satu pendiri P3M. Pendekatan dan lobi kepada pemerintah juga sering beliau lakukan. Dan hasilnya adalah pemerintah kemudian memberi kepercayaan kepada RMI untuk membuat perencanaan sampai pelaksanaan kegiatan. Ini beliau lakukan demi terjalinnya kerjasama yang strategis dan bersifat jangka panjang. Beberapa dinas pemerintah yang pernah diajak kerjasama adalah dinas pertanian, kehutanan, kesehatan, riset dan teknologi.

Kyai Wahid juga menggagas berdirinya Ma’had Aly sebagai lembaga setingkat perguruan tinggi (PT) di pesantren, seiring dengan visi dan misi RMI yang ingin mengembangkan pendidikan pesantren. Mulanya, ide ini pernah disampaikan pada Kyai As’ad Syamsul Arifin, yang selanjutnya langsung diterima. Salah satu tujuan dibukanya Ma’had Aly adalah, agar pesantren mengkaji teori-teori ilmiah selain kitab kuning, sehingga nantinya pesantren bisa menjadi basis kaderisasi pemikir muda Islam.

Adapun pesantren yang telah mendirikan Ma’had Aly adalah:

  1. Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo (konsentrasi pada Fiqih)
  2. Pesantren Krapyak Yogyakarta (konsentrasi pada Ushul Fiqih)
  3. Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo (konsentrasi pada Dirosah Islamiyah).

Sebagai ulama intelektual, -demikian mantan Mendiknas Malik Fajar menyebut Kyai Wahid-, acapkali beliau menjadi tempat konsultasi oleh orang-orang yang tengah menghadapi pelbagai persoalan. Dan Kyai Wahid sendiri selalu menerimanya dengan senang hati dan memberikan solusi terbaik yang dibutuhkan.

Berkat kemampuan Kyai Wahid ini, tidak mengherankan jika kemudian beliau mampu menjadi mediator konflik pemikiran antara pengurus NU yang sepuh-sepuh dengan kalangan anak muda NU. Lebih-lebih, beliau mampu mempersatukan gagasan kedua belah pihak.

Sebagai figur Kyai yang memiliki pola pemikiran yang kritis dan moderat, acapkali beliau melakukan terobosan-terobosan baru. Misalkan dalam bidang Bahtsul Masail, Kyai Wahid pernah melakukan pembaharuan tentang sistem dan metode pengambilan hukum terhadap persoalan yang ada di tengah masyarakat. Menurut beliau, langkah-langkah dalam Bahtsul Masail perlu ada perkembangan. Kala itu beliau menawarkan langkah-langkah sebagai berikut:

  • Pertama, harus di cari terlebih dahulu akar persoalannya. 
  • Kedua, adakah referensi dalam kitab-kitab klasik dan atau sumber lain yang terkait. 
  • Ketiga, kemudian dikontekstualkan (di-istimbath-kan) dengan masalah sosial, ekonomi dan budaya.

Pemikiran beliau ini kemudian berhasil disahkan dalam musyawarah nasional (Munas) di Lampung pada tahun 1992, dan dikenal dengan nama fiqih kontekstual.

Kyai Wahid pernah melontarkan ide pengembangan pesantren, agar bisa menjadi basis kader untuk pengembangan NU ke depan. Karena pondok pesantren dikenal sebagai basis anak muda NU, sehingga perlu adanya pembinanaan dan kaderisasi santri sebagai embrio ulama yang ada di pesantren. Ide ini disadari oleh Kyai Wahid karena beliau menyadari bahwa para pendiri NU berasal dari Pesantren.

4. Chart Silsilah Sanad

Berikut chart silsilah sanad murid KH. Abdul Wahid Zaini dapat dilihat di sini.

5. Referensi

Diolah dan dikembangkan dari berbagai sumber yang mendukung.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 15 November 2022, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 17 Juli 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya